menitindonesia, JAKARTA – Ketua Forum Anti KongKalikong (FAKK), Ahmad Mabbarani, menjelaskan metode survey calon pemimpin yang sering digunakan lembaga survey, tidak boleh diterima secara serta merta.
Ahmad Mabbarani menyarankan, agar Parpol dan masyarakat melakukan riset ulang atas hasil survey yang dirilis lembaga survey yang suka memunculkan hasil surveynya.
“Hati-hati mempercayai hasil survei elektabilitas calon pemimpin, terutama di Pilkada, sekarang, survey-survey elektabilitas calon sekarang ini berpotensi terjadi kongkalikong antara pemesan survey dengan lembaga survey. Agar tidak tertipu, harus tahu dulu siapa pemesannya dan bagaimana cara memainkan survey,” kata Ahmad Mabbarani melalui rilisnya yang diterima redaksi Menit Indonesia, Kamis (16/6/2022).
Dia menyebutkan, bahwa hasil survey untuk mengukur elektabilitas kandidat atau calon pemimpin, baik di Pilpres maupun di Pilkada, lebih cenderung dijadikan sebagai lampiran proposal oleh bakal calon untuk meyakinkan cukong (pemilik modal) agar mereka mendapat bantuan dana.
“Banyak hasil survey yang beredar itu hasil rekayasa. Bahkan ada lembaga survey sama sekali tidak melakukan survey, tetapi langsung merelease hasil. Dokumen surveynya hanya copy paste dan editan dari survey lain, dengan mencocok-cocokkan angka-angka. Calon yang maju pun membayar mahal karena tujuannya juga mau dipakai cari sponsor,” ungkap pegiat anti korupsi ini.
Menurut Ahmad Mabbarani, rekayasa hasil survey yang mulai santer ini, merupakan langkah awal kongkalikong calon pemimpin untuk mendapatkan sponsor dan dukungan publik. Hal ini, dinilainya sebagai bentuk keculasan yang tidak layak dimiliki seorang calon pemimpin.
“Di daerah itu banyak yang bikin lembaga survey abal-abal, isinya kebanyakan copy paste dan rekayasa. Banyak juga konsultan dadakan yang menawarkan jasa survey dan konsultan pemenangan, padahal basic ilmunya bukan ilmu statistik, bahkan tidak paham statistik dan tidak paham politik,” ujarnya.
Modal para konsultan kampung ini, kata Ahmad Mabbarani, ialah modal branding proposal dan klaim beberapa hasil Pilkada yang dimenangkan, seolah-olah itu karena hasil dari survey dan konsultasi yang mereka lakukan. Dia mengaku, memiliki data terkait hal tersebut.
“Padahal, itu hanya cerita fiksi untuk mengelabui politisi yang sedang puber berkuasa. Jangan mudah memercayai konsultan politik abal-abal. Yang punya nama saja, banyak yang melakukan rekayasa survey, misalnya menambah angka elektabilitas calon yang memesan survey, dan menurunkan angka kompetitornya, lalu bikin jumpa pers seolah-olah itu hasil riset dan survey yang akurat,” ujarnya.
Ahmad Mabbarani pun menyarankan, para politisi yang ingin bertarung di Pilpres maupun di Pilkada, agar membangun dulu citra positif, bahwa dia memang layak menjadi pemimpin.
“Jangan memunculkan diri lewat survey abal-abal, tapi lakukan sosialisasi untuk menunjukkan kalau diri Anda memang layak jadi pemimpin, jangan buat kesalahan yang tidak sukai publik,” pungkasnya. (roma)