menitindonesia, MAKASSAR – Massifnya rilis hasil survei tiga bakal calon presiden yaitu Capres PDI Perjuangan Ganjar Pranowo, Capres Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Capres Partai NasDem Anies Baswedan, yang dilakukan sejumlah lembaga survei berbayar, menimbulkan keraguan bagi publik. Hasil survei tersebut dinilai menipu publik.
“Sejauh ini pemahaman politik terhadap perilaku publik sebahagian besar memahami perilaku memilih kandidat berdasarkan hasil survei, sehingga masyarakat termarjinalkan berdasarkan angka-angka statistik, survei,” kata peneliti Lembaga Kajian Pembangunan (LKP) Muhammad Asrul Nurdin, S.Pd pada diskusi politik di kantor redaksi Menit Indonesia, Makassar, Jumat (9/6/2023).
Menurut Muhammad Asrul, tak ada yang salah pada angka-angka survei yang dirilis lembaga survei. Namun, kata dia, hal itu menjadi naif dalam pengambilan sample. Misalnya, untuk mengukur kepuasan terhadap kinerja pemerintahan, ujar dia, survei dilakukan pada saat program BLT dan bantuan sosial usai tersalurkan.
“Yang ditanya secara acak dengan sistim random multistage, yah penerima manfaat bantuan sosial dari kiri, kanan, depan dan belakang. Jawaban mereka tanpa diarahkan sekalipun, pasti lebih banyak yang mengatakan puas karena baru saja menerima manfaat,” ujar Muhammad Asrul.
Dia juga mengungkap, bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, paralel dengan hasil survei elektabilitas Capres yang diendorse oleh Jokowi, misalnya di awal-awal, massif mengendors Ganjar Pranowo, dan terakhir ke Prabowo Subianto.
“Jadi jelas terbaca, ketika Jokowi masih memegang Ganjar, elektabilitas Ganjar di atas Prabowo dan Anies. Setelah Ganjar diambil PDIP, lalu Jokowi mesra dengan Prabowo, elektabilitas Prabowo pun naik ke atas Ganjar,” terang peniliti yang juga jurnalis ini.
Lebih lanjut, ujar Asrul, hasil survei inilah yang kemudian disebarkan dan dipaksakan menjadi persepsi untuk simpul-simpul pencitraan yang terjadi di kalangan pembentuk opini publik.
“Karena menguasai jejaring sosial melalui medsos yang diperankan para buzzer itu, secara kuantitas sebenarnya mereka tidak besar, tetapi akses mereka luas ke publik, memungkinkan mereka mendapatkan inside information untuk menggiring opini publik,” ujarnya.
Meskipun demikian, Muhammad Asrul mengatakan, hasil survei yang disebarkan oleh sejumlah lembaga survei sudah benar dan sesuai dengan rekaman yang terpotret dari responden melalui sistim multistage random yang dilakukan secara acak, tetapi setelah ada pengkondisian momen yang tepat.
“Jadi bisa disimpulkan, hasil survei sudah benar, tetapi cara pengkondisian yang dipakai salah. Itu sama saja ngibul,” tandasnya.
Sebelumnya, cendekiawan dan pengamat politik, Rocky Gerung, menuding lembaga survei yang hadir menjelang Pemilu ini, dibiayai secara politik dan berimbas kepada hasil survei yang menipu publik.
“Semua lembaga survei yang ada sekarang itu urusannya tipu menipu, saling titip kusioner,” ujar Rocky dalam rekaman videonya yang viral itu.
Sementara itu, pendiri Lembaga Survei Saiful Mujani Research Centre (SMRC) Dr Saiful Mujani, membantah pernyataan Muhammad Asrul dan Rocky Gerung yang mengkritik lembaga survei. Menurutnya, lembaga survei sekarang bisa mandiri setelah berbagai pihak yakin akan mendapat manfaat dari survei.
“Itu survei, kemudian soal produk dan pasar. Produk buruk tak ada pasarnya. Jadi bukan tipu-tipu. Tidak mungkin produk serius tidak ada biayanya, pasti ada,” tuturnya.
Saiful Mujani menegaskan, sumber yang membiayai lembaga survei tidak diperbolehkan mendikte proses dan hasil. Ia menyamakan pembuat survei dengan profesi modern yang ada saat ini. “Survei opini publik adalah capaian besar dalam studi politik modern,” pungkasnya. (andi endeng)