PIK 2 Jadi Proyek Strategis Nasional: Kontroversi Lingkungan dan Konflik Sosial Mencuat

FOTO: Penulis adalah Jurnalis Menit Indonesia. (ist)

Oleh Akbar Endra
(Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – PANTAI INDAH KAPUK 2 (PIK 2), proyek pengembangan terpadu yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2024. Kawasan di pesisir utara Jakarta ini diproyeksikan menjadi pusat urban modern dengan infrastruktur lengkap dan konsep kota pintar. Namun, di balik ambisi besar tersebut, proyek ini menuai kritik tajam, terutama terkait dampak lingkungan dan konflik sosial yang muncul di masyarakat sekitar.

Penetapan PSN dan Kontroversi yang Mengiringi

Sebagai PSN, PIK 2 mendapatkan berbagai kemudahan, termasuk penyediaan lahan dan percepatan pembangunan infrastruktur. Namun, keputusan ini memicu kritik dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
BACA JUGA:
Agung Sedayu Group Bantah Terlibat dalam Pembangunan Pagar Laut 30 Km di Tangerang
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti dugaan pelanggaran aturan karena sebagian proyek ini didirikan di atas kawasan hutan lindung mangrove. Hutan mangrove yang seharusnya dilindungi kini terancam keberadaannya akibat reklamasi dan pembangunan masif. Selain itu, aktivis lingkungan menilai proyek ini berpotensi merusak ekosistem pesisir yang sangat penting untuk mitigasi bencana alam, seperti banjir dan abrasi.
BACA JUGA:
Muhammad Burhanuddin: Program MBG, Langkah Nyata Pemerintah untuk Generasi Muda
Selain dampak lingkungan, proyek ini juga menimbulkan konflik sosial. Dari laporan Said Didu, seorang tokoh masyarakat, diketahui adanya praktik pemaksaan dan tipu daya terhadap masyarakat lokal, khususnya nelayan, untuk melepaskan hak atas lahan mereka kepada pengembang. “Banyak warga yang merasa terdesak untuk menjual lahan mereka dengan harga rendah tanpa memahami dampak jangka panjangnya. Nelayan kehilangan ruang hidup dan sumber mata pencaharian akibat reklamasi ini,” ujar Said Didu.

Dampak Sosial dan Ekonomi yang Mengkhawatirkan

Bagi masyarakat lokal, terutama nelayan yang telah menggantungkan hidupnya pada laut, pembangunan PIK 2 menjadi pukulan berat. Reklamasi dan pembatasan akses ke laut membuat mereka kehilangan ruang untuk berlayar dan menangkap ikan. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi pendapatan mereka, tetapi juga merusak keseimbangan sosial di wilayah tersebut.
“Proyek ini membawa keuntungan besar bagi pengembang, tetapi apa yang didapatkan masyarakat lokal? Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, dan identitas mereka sebagai komunitas pesisir,” tegas seorang aktivis lokal yang menolak disebutkan namanya.

Komitmen Lingkungan dan Hak Masyarakat Dipertanyakan

Meskipun pengembang telah mengklaim bahwa proyek ini mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan, kritik terhadap kurangnya transparansi dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan terus berdatangan. Penetapan PIK 2 sebagai PSN memberikan keuntungan besar bagi pengembang, tetapi komitmen terhadap perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal masih dipertanyakan.
“Pemerintah harus menjelaskan bagaimana proyek ini dapat berjalan tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan dan sosial. Transparansi adalah kunci agar proyek ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak,” ujar Said Didu dalam salah satu kesempatan.

Tantangan Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Sebagai PSN, PIK 2 diharapkan dapat menjadi contoh pembangunan yang tidak hanya mengutamakan kemajuan ekonomi, tetapi juga melindungi ekosistem pesisir dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk itu, pemerintah dan pengembang harus memastikan bahwa proyek ini dilakukan secara transparan dan adil.
Tantangan besar yang dihadapi PIK 2 mencerminkan dilema pembangunan di Indonesia: bagaimana menyeimbangkan ambisi modernisasi dengan pelestarian lingkungan dan perlindungan hak-hak masyarakat. Jika tidak dikelola dengan bijak, proyek ini berisiko menjadi contoh buruk bagi pembangunan masa depan di negeri ini. (*)