menitindonesia, MOROWALI UTARA – Kasus sengketa lahan sawit di Morowali Utara menimbulkan kontroversi. Ahmad Fauzan, yang awalnya melaporkan dugaan pencurian sawit di kebunnya, justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Morowali Utara. Keputusan ini memicu pertanyaan besar tentang transparansi dan keadilan hukum di wilayah tersebut.
Kronologi Kejadian
Kasus ini bermula pada 1 November 2024, ketika sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai pengurus Koperasi Plasma Desa Bunta dan Lembaga Adat Wulanderi memasang spanduk klaim kepemilikan lahan di perkebunan sawit yang dikelola oleh kelompok Pak Yahya. Mereka kemudian memanen buah sawit di area tersebut.
BACA JUGA:
Prabowo Wajibkan Pengusaha Simpan 100 Persen Devisa Hasil Ekspor SDA di Bank RI
Mengetahui hal ini, seorang saksi bernama Jabbar melaporkan kejadian tersebut kepada Ahmad Fauzan. Setelah salat Jumat, Fauzan bersama rekan-rekannya (Muharram, Sabir, dan Daha) mendatangi lokasi. Mereka menemukan sekitar 25 orang tengah memanen sawit dan sebuah truk yang sudah penuh dengan buah sawit.
Melihat kedatangan Fauzan dan rekan-rekannya, para pemanen sawit itu lari berhamburan. Namun, kejadian ini berbuntut panjang ketika salah satu orang yang diduga mencuri sawit melaporkan Fauzan cs ke Polres Morowali Utara dengan tuduhan pengeroyokan.
Pelapor Justru Jadi Tersangka
Pada hari yang sama, Fauzan juga melaporkan dugaan pencurian sawit ke Polres Morowali Utara dengan menyertakan bukti kepemilikan lahan dan dokumentasi aktivitas pencurian. Namun, laporan ini justru dihentikan penyelidikannya karena dianggap tidak cukup bukti.
BACA JUGA:
Demo di Kantor Kementerian ESDM, Aliansi Kader HMI Jakarta Apresiasi Kerja Bahlil Lahadalia
Sebaliknya, Fauzan dan Muharram malah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak 28 Januari 2025 atas tuduhan penganiayaan. Kuasa hukum mereka menilai keputusan ini tidak adil dan tidak didukung bukti kuat.
Kuasa Hukum: Ada Kejanggalan dalam Kasus Ini
Kuasa hukum Ahmad Fauzan dan Muharram menilai penyelidikan Polres Morowali Utara penuh kejanggalan. Beberapa poin yang menjadi sorotan mereka:
Fauzan memiliki dokumen kepemilikan lahan berupa Surat Keterangan Pengelolaan Tanah (SKPT) yang diterbitkan pemerintah desa sejak 2005.
“Blok 9 di lokasi kejadian diklaim sebagai lahan plasma berdasarkan SK Bupati Morowali Utara tahun 2016, namun dalam SK tersebut tidak ada penjelasan mengenai batas wilayah lahan,” ujar kuasa hukum Ahmad Fauzan seperti dikutip dari salah satu media online, Senin (17/2/2025).
Ia menambahkan, bahwa PT Agro Nusa Abadi (PT ANA), perusahaan yang disebut dalam sengketa, hingga kini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), yang seharusnya menjadi dasar legal kepemilikan lahan plasma.
Dalam kasus serupa di Desa Bungintimbe, ujar dia, Polres Morowali Utara justru menghentikan penyelidikan karena pihak koperasi tidak bisa membuktikan lahan yang diklaim sebagai plasma.
Tuntutan Evaluasi Kinerja Polres Morowali Utara
Merasa diperlakukan tidak adil, kuasa hukum Fauzan cs mendesak Kapolda Sulawesi Tengah untuk mengevaluasi kinerja Polres Morowali Utara. Mereka menegaskan bahwa slogan PRESISI yang digaungkan oleh Kapolri seharusnya diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar pencitraan.
Kasus ini semakin memperlihatkan adanya potensi ketimpangan hukum dalam penyelesaian sengketa lahan sawit. Apakah keadilan masih bisa ditegakkan di Morowali Utara? Publik menantikan jawaban dari aparat penegak hukum.
(AE)