Bahlil Lahadalia paparkan hilirisasi Indonesia di Global Hydrogen Summit 2025. (ist)
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkap negara-negara maju tak mendukung hilirisasi Indonesia karena terganggu rantai pasok bahan mentah. Namun, hilirisasi justru membuat ekspor nikel RI melonjak tajam.
menitIndonesia, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, banyak negara maju yang tidak mendukung peta jalan hilirisasi Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini mengancam rantai pasok bahan baku yang selama ini diekspor ke negara-negara tersebut.
“Banyak negara-negara maju yang tidak setuju dengan peta hilirisasi Indonesia. Mereka tahu betul keunggulan komparatif kita dalam menciptakan nilai tambah secara maksimal,” kata Bahlil dalam Global Hydrogen Ecosystem Summit di Jakarta Convention Center, Selasa (15/4/2025).
Hilirisasi, jelas Bahlil, adalah proses pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi, yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Strategi ini diyakini mampu memperkuat perekonomian nasional serta menciptakan ekosistem industri yang tangguh.
Nilai Tambah yang Mengguncang Dunia
Sebagai contoh, Bahlil menyoroti keberhasilan hilirisasi di sektor nikel. Ia menyebut, nilai ekspor hasil olahan nikel Indonesia saat ini melonjak hingga US$ 34–35 miliar. Bandingkan dengan nilai ekspor nikel mentah pada 2018–2019 yang hanya menyentuh angka US$ 3,3 miliar.
“Hilirisasi menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Inilah kenapa Uni Eropa membawa kita ke WTO. Tapi kita tidak perlu takut,” tegas mantan Menteri Investasi ini.
Ia juga menegaskan bahwa tren global kini mulai mengarah pada peningkatan ekonomi domestik. Banyak pemimpin dunia, menurut Bahlil, sudah menata ulang kebijakan ekonominya agar tak tergantung pada negara lain—dan Indonesia tak boleh ketinggalan.