Tentang Nasib Buruk Djoko Tjandra

Peter F Gontha - Pemerhati masalah kebangsaan

Oleh :Peter F Gontha
DT (Djoko Tjandra) dilihat dari sudut lain untuk mengasah otak kita

Tahun 1999, saya menulis sebuah buku berjudul “Skandal Bank Bali: Tumbangkan Habibie?” Untuk menuliskan buku ini, saya membuat anak usaha bernama Tarawang Press. Itu buku pertama, yang kemudian diikuti oleh buku2 sejenis yang sesungguhnya memindahkan hasil riset pustaka dan sedikit kajian dengan melibatkan nara sumber independen. Kemudian dijadikan sebuah dokumentasi agar tidak hilang ditelan sejarah. Tujuan buku tersebut, gagal: Habibie tidak tumbang, walau kemudian gagal ketika ia ikut kontestasi Pilpres berikutnya. Ia tak pernah diingat menjadi pelopor money politik, dalam era pemilihan presiden langsung. Kalau pun ada yang ingat, pasti akan membela: siapa sih yang tidak? Dianggap wajar dan tak ada yang mempermasalahkannya!

Pertanyaannya seberapa ngeri dan sadis skandal ini sebenarnya. Hingga lebih dari 20 tahun kemudian, masih saja jadi topik yang seolah tak pernah usang. Hingga Joko Tjandra masih saja dikejar-kejar. Seberapa brengseknya dirinya. Atau lebih tepatnya seberapa buruk nasibnya. OK kita bahas satu persatu.

Pertama, siapa Bank Bali. Nama ini sebenarnya bentuk kecerdasan orang marketing, tapi sekaligus sejenis kutukan. Sembrono tanpa izin dan terlalu berani, karena itu karma menerkamnya. Nama Bali dipakai, karena konon kosa kata “Bali” jauh lebih terkenal dari kata “Indonesia”. Sialnya, ia tak ada hubungannya sama sekali dengan Bali secara apa pun! Kabar baiknya, ia dikelola dengan sangat rapih dan professional. Ketika saya memutuskan menuliskannya (dalam arti ikut membelanya). Tentu atas dasar hal tersebut, tidak rela ketika bank yang sehat, bersih, dan jujur diacak2 oleh perilaku para politisi busuk.

Terjadinya skandal, bermula dari ketika Bank Bali gagal menagih hutang kepada tiga bank. Yaitu BDNI dan BUN yang timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Proses yang sangat biasa dalam pergaulan dunia perbankan. Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200 miliar. Sialnya, ketika ia meminta tolong kepada BI sebagai Bank Sentral ditolak. Hanya karena dianggap terlambat mengajukan klaim. Permainan administrasi biasa yang memang kemudian ditengarai “by design” untuk membunuh bank ini. Di titik inilah sebenarnya skandal dimulai!

Kedua, Siapa Djoko Tjandra. Sesungguhnya ia adalah pengusaha properti yang sudah cukup sukses. Di Jakarta, sebelum “kejeblos terlibat main politik”, ia telah memiliki aset property yang cukup besar. Ia identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti. Grup yang didrikan melalui kongsi empat bersaudara yaitu Tjandra Kusuma, Eka Tjandranegara, Gunawan Tjandra, dan Djoko Tjandra sendiri. Pada dekade 1990-an grup ini bahkan menjadi komandan utama dalam kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center. Grup Mulia juga menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan di luar negeri. Selain properti, grup yang pada tahun 1998 memiliki aset sebesar Rp 11,5 triliun itu juga mulai merambah ke bisnis keramik, metal dan gelas.

Singkat kata Joko Tjandra bukanlah “pengusaha kaleng2”. Ia sudah lebih dahulu kaya, bahkan bila dibandingkan dengan kasus yang dipersangkakan kepada dirinya. Jumlahnya sungguh tidak berarti. Di sinilah kejinya politik. Kejamnya ketika pengusaha jatuh jadi keledai politik partai!

Ketiga, tentang kasusnya sendiri. Letak kesialan Joko Tjandra berhubungan dengan sosok Setya Novanto, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Bendahara Partai Golkar (catat: partai ya!). Ia kemudian diajak oleh Setya Novanto terlibat dalam perusahaan bernama PT PT Era Giat Prima (EGP). Akronim yang sering diplesetkan dengan Emang Gue Pikirin. Kepada perusahaan ini, setelah frustasi menagih piutang tertanam di BDNI, Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997. Dimana saat itu krisis moneter melanda sejumlah negara termasuk Indonesia.
Total piutang di ketiga bank tersebut mencapai Rp 3 triliun. Namun, hingga ketiga bank itu masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan itu tak kunjung cair. Di sinilah untuk sekian kalinya, terbukti bahwa bank yang baik itu justru tak ada yang mau menolong karena ia maunya main bersih. Bandingkan dengan bank2 jahat dan kotor itu …

Kemudian munculnya Skandal Cessie itu! Bermula dari perjanjian kerja sama yang diteken pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto. Dikatakan bahwa EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang dapat ditagih. Bank Indonesia dan BPPN akhirnya setuju untuk menggelontorkan uang sebesar Rp 905 miliar. Namun, Bank Bali hanya kebagian Rp 359 miliar, sedangkan Rp 546 miliar sisanya masuk ke rekening PT EGP. Dana yang diterima PT EGP inilah yang digunakan untuk membiayai BJ Habibie untuk mencalonkan diri dalam Pilpres 1999.

Keempat, kenapa kasus ini menjadi besar dan berlarut2. Ternyata proses pembayaran tersebut tidak sah! Kejanggalan itu terlihat dari total fee yang diterima EGP, di luar ternyata melampaui kewenangan banyak lembaga lain. Selain itu, proses cessie juga tak diketahui BPPN. Padahal, BDNI saat itu sedang dirawat oleh BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta, meski Bank Bali telah melantai di bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan EGP. Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf yang menyadari sejumlah kejanggalan itu akhirnya membatalkan perjanjian cessie. Tapi uang sudah terlanjur keluar dan beredar sebagai dana politik!

Di titik inilah kemudian selain Djoko, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka yaitu mantan Gubernur BI Syahril Sabirin, Wakil Kepala BPPN Pande Lubis, mantan Menteri BUMN Tanri Abeng, dan Rudy Ramli. Namun, dari sejumlah nama, hanya tiga yang akhirnya diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril dan Pande Lubis. Sedangkan dari petinggi partai Golkar tak satu pun yang tersentuh! Padahal merekalah yang paling menikmati.
Lalu apa yang terjadi hingga kasus ini berlarut2 hingga hari ini!

Pada tahap peradilan pertama, awal Februari 2000. Kasus pidana itu mulai bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski sebelumnya Kejaksaan Agung sempat ditahan pada 14 Januari-10 Februari 2000, Djoko menyandang status tahanan kota pada 10 Februari berkat ketetapan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan. Pada 6 Maret, putusan sela PN Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima.

Jaksa lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melaui jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar berupa dakwaan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali. Ia pun dituntut hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Namun majelis hakim yang diketuai Soedarto dan Muchtar Ritonga serta Sultan Mangun sebagai anggota itu justru melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Dalam putusannya, majelis menyatakan dakwaan JPU terbukti secara hukum. Namun, perbuatan itu dinilai bukan sebagai perbuatan pidana, melainkan perdata.

Kemudian Antasari pun mengajukan kasasi ke MA. Kegigihan Antazari dalam kasus inilah yang membuat namanya jadi populer, hingga kelak ia diangkat sebagai Ketua KPK. Namun, majelis hakim agung MA kembali melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting karena adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap, dengan hakim Artidjo Alkostar. Belakanganya, pada Oktober 2008, Kejagung mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Majelis PK yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa dan Artidjo Alkostar menerima PK yang diajukan jaksa. Selain menjatuhkan vonis 2 tahun penjara atau lebih berat dari tuntutan jaksa di tingkat banding, uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Di sinilah kemudian sebagaimana yang kita tahu! Djoko Tjandra karena dikorbankan, akhirnya memilih jadi buron! Sementara penghasutnya Setya Novanto sempat nangkring jadi Ketua DPR. Walau kemudian juga harus menerima karma-nya walau harus melalui kasus yang berbeda lagi. Ia harus menerima nasib menjadi “gelandangan antar Negara”. Jelas ia masih cukup kaya untuk melakukan apa saja. Ia sudah kaya dari dulunya. Saya cukup tersentuh dengan kata2 Joko Tjandra: “kalau saya bersalah, jangankan dua tahun dipenjara, seumur hidup pun saya rela. Tapi, karena saya tak bersalah, sehari pun saya tak akan mau dipenjara.” Saya pikir saya percaya memang ada ketidak adilan terhadap dirinya …

Kasus Joko S. Tjandra ini adalah drama yang saya tidak tahu untuk apa? Rivalitas Polisi dan Tentara. Atau KPK dan Kejaksaan. Atau antar partai. Bisa apa saja. Bisa dipahami bagaimana ia justru dengan mudah mempermalukan siapa saja. Ia adalah figur yang karena nasib buruknya bisa “melampaui”, menjadi jauh lebih besar dari musuh2nya. Ketika ia mendadak muncul lagi, lalu banyak yang berteriak2, tanpa pernah mau memahami sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi. Ia korban ketidak adilan, nasib sial dan ketidak hati-hatian, yang sesungguhnya bisa menimpa siapa saja.

Moral dari kasus ini: bisnis itu bila ingin tetap besar, harus bersedia dikerjai atau ditunggangi kepentingan politik. Boleh dibolak-balik, tapi intinya sama saja. Mustahil tanpa itu! Menjelaskan kenapa oligarki dan korupsi tak akan pernah mati …

NB: Sedikit tulisan panjang, untuk mengenang dan merayakan diri saya sendiri. Sebagai ucapan terimakasih dan hadiah buat teman2 yang memberi selamat ulang tahun dan berharap saya terus menulis. Walau sesungguhnya sudah tak banyak daya lagi.