Oleh : Yarifai Mappeaty (Pernah menjadi Pengurus Demokrat Makassar)
PERTANYAAN ini tiba-tiba menyeruak dan menjadi ramai di publik usai Prof. Salim Said melontarkan analisisnya di Karni Ilyas Club, yang rilis pada awal medio Maret lalu. Tak ayal, Prof. Salim pun memantik pro dan kontra, baik di jagad maya maupun di warung-warung kopi. Begitu menariknya isu ini, sampai-sampai percakapan Karni Ilyas dengan Prof. Salim tersebut, telah ditonton oleh hampir satu setengah juta viewer, hanya dalam sepekan.
Terlepas dari pada pro dan kontra yang terjadi, lontaran Prof. Salim itu sebenarnya dapat pula dimaknai sebagai bentuk kekagumannya pada sosok SBY yang begitu piawai memanfaatkan peluang. Prof. Salim seolah-olah hendak mengingatkan kita pada perlakuan Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati, 18 tahun silam. Sesudahnya, muncul narasi SBY “dizalimi” yang benar-benar mampu meraih simpati publik. Hasilnya, pada Pilpres 2004, SBY – JK sukses mempecundangi Mega – Hasyim.
Secara akademis, lontaran Prof. Salim itu, tentu sah-sah saja. Apa lagi ia memang seorang akademisi yang integritasnya tak diragukan. Tetapi meski begitu, tidak berarti bahwa Prof. Salim benar sepenuhnya. Penulis malah melihat lontaran beliau hanya sebuah spekulasi di antara sejumlah spekulasi yang berkembang pasca KLB Partai Demokrat di Deli Serdang.
Tetapi, apa benar SBY kembali menggunakan cara lama untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat? Sebelum membahasnya lebih lanjut, ada baiknya kita singgung sedikit spekulasi yang jauh lebih mengemuka di tengah publik. Yaitu, KLB Demokrat diskenario oleh istana dengan menjadikan Moeldoko sebagai pemeran utama.
Spekulasi ini demikian santer dipercakapkan lantaran Moeldoko mencemplungkan diri dalam urusan rumah tangga orang. Padahal, dia tahu bahwa itu tidak etis. Bukan apa, selaku Kepala Staf Presiden (KSP) Jokowi, ia dipahami publik sebagai reprensentasi istana dan pasti memiliki pengaruh dan kekuatan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Pihak istana pun tampak berlepotan menepis spekulasi itu. Sebab di benak publik, sudah terlanjur tertanam persepsi bahwa skenario itu dibuat untuk memuluskan amandemen konstitusi, terkait masa jabatan presiden tiga periode. Padahal, memang mungkin realitasnya tidak seperti itu, sehingga spekulasi tersebut juga sumir.
Bahkan, spekulasi yang melibat-libatkan istana ini, hemat penulis, tidak memiliki dasar yang cukup kuat. Mengapa? Jika Presiden Jokowi bersikeras memaksakan amandemen, maka, niscaya itu akan terwujud, dan, tidak ada satupun kekuatan yang sanggup menghalanginya, dan Partai Demokrat di sini tidak penting-penting amat baginya. Undang-Undang omnibus law itu adalah contohnya.
Harap dicatat bahwa kekuatan partai pendukung Jokowi saat ini di MPR, ditambah beberapa suara dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sudah lebih dari cukup memenuhi persyaratan untuk dilakukannya amandemen. Tidak percaya? Ambil kalkulator dan hitung sendiri. Lalu, apa lagi urgensinya membajak Partai Demokrat untuk kepentingan skenario itu?, kalau memang ada.
Jika demikian halnya, maka, apakah KLB Demokrat itu adalah semata permainan SBY? Tidak juga. Mengapa? Sebab situasi yang dialami SBY pada 2003, saat baru memulai meretas jalan menuju puncak kariernya, benar-benar berbeda dengan situasi yang dihadapinya saat ini. SBY dimata publik saat itu adalah sosok yang nyaris tanpa noda dan dielu-elukan. Pada situasi itulah, SBY dengan mudah memantik keharuan untuk menarik simpati dan dukungan publik.
Akan tetapi, SBY yang sekarang bukan lagi SBY yang dulu. Setelah berkuasa selama sepuluh tahun, rakyat Indonesia sudah barang tentu telah memiliki penilaian terhadapnya. Seperti apa konkritnya penilaian itu? Entah. Tetapi yang pasti, simpati dan dukungan terhadap dirinya sudah sangat jauh berkurang. Hal itu tercermin pada perolehan suara Partai Demokrat pada Pileg 2019, saat dimana SBY sendiri yang menjadi Ketua Umum.
Sadar akan situasinya berbeda, maka, apakah SBY masih mau memainkan lagu lama, “dizalimi”, untuk memantik keharuan publik? Tidak. Sebagai Jenderal pemikir yang handal, khatam soal taktik dan strategi, ia tentu tak mau sampai terlihat konyol mengembangkan narasi yang sama. Penulis yakin kalau SBY sangat paham bahwa beda situasi beda pula dinamikanya, dan, sudah tentu perlakuan juga harus berbeda.
Lantas, KLB Deli Serdang itu apa? Itu adalah musibah yang dirancang bangun oleh kader-kader Demokrat yang mengalami frustrasi. Mereka adalah kader-kader senior yang merasa punya jasa besar, namun tak lagi punya peran penting dalam partai. Mereka enggan menerima kenyataan tergusur oleh proses suksesi dan regenerasi yang berlangsung di dalam tubuh partai.
Padahal, dinamika semacam itu sifatnya alamiah. Bahwa mereka tergusur oleh dinamika yang terjadi, itu benar. Tetapi mesti dipahami kalau dinamika itu sendiri adalah hukum sebab – akibat yang menyertai proses berlangsungnya mekanisme suksesi dan regenerasi dalam kehidupan ini sebagai sebuah keniscayaan.
Bagi mereka yang tergusur itu, pilihannya hanya dua. Pertama, memilih hengkang lalu bergabung dengan partai lain, atau, berhenti sama sekali dari dunia politik. Kedua, memilih tetap bertahan sembari membangun kekuatan perlawanan secara diam-diam. Jika ternyata kekuatan mereka tidak cukup kuat merebut kekuasaan, maka, satu-satunya jalan untuk menyingkirkan penguasa partai adalah menggunakan kekuatan eksternal.
Rupanya, yang disebut terakhir itulah yang menjadi penyebab musibah yang menimpa Partai Demokrat. Karena frustrasi, kader-kader yang tergusur itu lantas mencoba meminjam kekuatan dari luar. Bertemulah mereka dengan sebuah kekuatan bernama Moeldoko, yang ternyata juga diam-diam memiliki asa dan ambisi.
Gayung pun bersambut. Maka terjadilah KLB Partai Demokrat di Deli Serdang dan berhasil mendudukkan Moeldoko di kursi Ketua Umum DPP Demokrat. Meskipun belakangan KLB tersebut dicap abal-abal oleh khalayak, Moeldoko tetap bergeming dan terkesan tidak ambil pusing bila disebut tak punya etika. Bahkan mau juga disebut pembajak partai, pun tidak masalah.
Menjadi penguasa partai bagi Moeldoko, tampaknya sebuah prioritas penting yang mesti didahulukan. Sebab dengan posisi itu, ia akan memiliki posisi tawar yang akan mendukung langkah-langkahnya di dalam usaha mewujudkan harapan dan ambisinya.
Bagaimana tidak? Kendati Partai Demokrat saat ini hanya berkutat di papan tengah, tetapi tetap saja menarik. Setidaknya sudah lolos parliamentary threshold, sehingga jauh lebih menggiurkan dari pada partai semacam PSI. Gerakan Moeldoko itu adalah sebuah langkah taktis yang sangat efektif dan efisien untuk menjadi penguasa partai. Tidak perlu sampai berdarah-darah membangun partai baru.
Sebagai reprensentasi kekuasaan, keterlibatan Moeldoko di sini, memang terkesan mendukung narasi SBY dan Partai Demokrat dizalimi oleh rezim. Taruhlah bahwa ini permainan SBY, lantas bagaimana dengan Gatot Nurmantiyo yang ketahuan dirayu lebih dahulu? Kerena menolak, barulah mendatangi Moeldoko. Padahal kita tahu kalau Gatot tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemeran utama pada skenario “dizalimi” itu, karena tak lagi di kekuasaan dan tak punya pengaruh dan kekuasaan.
Namun, manuver Moeldoko itu memang perlu dibaca secara lebih saksama, tidak semata melihatnya hanya di permukaan. Sebab bukan tidak mungkin ada agenda ikutan yang masih tersamar, tetapi, justeru itu yang menjadi motif pencaplokan Demokrat. Misalnya, anggap tidak terjadi amandemen konsitusi terkait masa jabatan Presiden, maka, setelah lengser, Pak Jokowi mau kemana?
Meminjam Pak Harto, apa mungkin Madeg pandito? Tidak. Dengan berbagai pertimbangan, beliau akan tetap berusaha eksis di jalur politik, sehingga butuh “rumah baru”. Dengan segala keunggulan strategis yang dimilikinya, Partai Demokrat adalah sebuah rumah cantik yang amat menggoda.
Apapun bisa terjadi. Tetapi adanya faktor Gatot Nurmatyo menyempil dalam rangkaian peristiwa ini, adalah salah satu bukti bahwa SBY memang tidak sedang main dadu. (ym21/03/21)