Heroisme Hadapi Orang-Orangan Sawah

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Oleh Ostaf al Mustafa
BEGINILAH saat negara yang dikuasai orang-orangan sawah. Masih Pebruari, kala ‘seseorang yang engkau kenal warna bajunya’ melambaikan tangan di pematang, tapi justru impor beras makin menggila. Ketika ‘seseorang yang engkau tahu siapa namanya’ dijadikan obyek pada salah satu karya seni tertua di dunia, langsung pembuatnya tertuduh melecehkan lambang negara. Ada apa dengan kuasa orang-orangan sawah yang tak membiarkan kalimat kepada Sang Pencipta, “Tuhan aku lapar”? Boneka-boneka pengusir burung sawah ini tak menghendaki Kuasa Langit membaca kalimat nestapa. Jangan-jangan mereka memang bukan penyembah pada Ia yang terdapat di Pancasila sila pertama.
Kemudian ketika melewati pertengahan Agustus, orang-orangan sawah melakukan pelarangan pemasangan bendera Merah Putih di Pantai Koplak Indah. Padahal hanya sehari itu angin sangat merdeka bertiup ke utara. Di bulan ke delapan itu juga para seniman mural, dicari-cari kesalahannya dan diuber melebihi pencarian terhadap Heran Masuki. Siapa pun yang kini menjadi suluh penerang dalam kuasa gelap, menjadi target yang wajib dikriminalisasi. Andai saja, ondel-ondel tersebut bisa membaca karya fiksi, maka perlu mengetahui sebuah kearifan yang tak dimiliki pada ‘seseorang yang engkau lihat berpayung di tengah sawah’. Di bulan untuk mengenang para pahlawan ini, kita perlu mengetahui tentang kemungkinan masih ada kesatria di negeri ini. Sang kesatria selalu mencamkan kata-kata para pemikir tertentu, seperti kata-kata T.H. Huxley berikut ini. “Konsekuensi dari tindakan-tindakan kita laksana orang-orangan sawah yang tampak dungu dan suar pencerahan dari orang-orang bijak bestari”. (Paulo Coelho, Kitab Suci Kesatria Cahaya, 2017:37)
Negara memang sering mengunakan kekuatan pemaksa untuk menakuti-nakuti siapa saja, apalagi bila ‘seseorang yang disebut lambang negara’, ketika dicari di era pandemi justru ‘Error 404 Not Found’. Pembuat mural anonim kini tak bebas berekspresi dan pasti dijahati tersebut, merupakan kekuatan Intelektual Kolektif dari kalangan seniman. Setelah kekuatan kampus melempem—gegara rektor-rektornya dan para birokrat berbelalai tersebut menjadi penindas-penindas di dunia akademis—harapan kini tertuju pada para muralis. Kemungkinan besar hanya Pierre Bourdieau yang bisa meyakini betapa muralis merupakan kekuatan Intelektual Kolektif.
Bila Foucault membatasi intervensi Intelektual Spesifik hanya pada domain pengetahuan dan pengalaman tertentu, Bourdieau sudah tidak di garis batas itu lagi. Ia menegaskan bagaimana sebaiknya posisi intelektual. “Hal demikian diperlukan dewasa ini untuk menciptakan bentuk-bentuk organisasi yang akan menyuarakan intelektual kolektif yang agung, dengan cara menggabungkan kualifikasi dan bakat dari semua Intelektual Spesifik.” (Bourdieu, et al., “Fourth Lecture. Universal Corporatism: The Role of Intellectuals in the Modern World”, 1991: 667, entri dalam Poetics Today, Vol. 12, No. 4, National Literatures/Social Spaces).
Di Indonesia, belum ada organisasi cendekiawan, pemikir atau intelektual yang menempatkan muralis sebagai bagian dari kekuatan kolektif. Padahal sosok-sosok anonim yang bersenjatakan cat semprot, kuas, pengencer cat, hingga penggaris dan alat tulis itu memiliki idealisme yang berakar dan bertumbuh dari realitas sosial. Idealisme, kata yang mungkin hampir punah dalam keberpihakan mayoritas mahasiswa. Tan Malaka berkata “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Sebab merupakan kemewahan, pantas saja setiap jaman, para pemiliknya selalu menjadi incaran aparat, sebagaimana yang dialami perupa jalan yang berani itu. Kini Di saat mayoritas akademisi, intelektual, dan mahasiswa tunduk pada orang-orangan sawah, muralis jalanan menunjukkan bagaimana heroisme Agustusan.
Bogor, 24 Agustus 2021