Cermin Gila Tiga Periode

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
Oleh Ostaf al Mustafa
SEBAB, pemimpin hanyalah cermin masyarakatnya. (“Pramoedya & Indonesia”, entri dalam Ayu Utami, Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita, GagasMedia, 2003: 136). Kalimat tersebut, sebuah kelaziman yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang paling bersalah. Kalau memiliki pemimpin dungu, kemungkinan besar pemilihnya dari kawula yang plongoh-plongoh. Jika terpilih pemimpin zalim, maka penduduk di negeri tersebut juga menggampangkan perbuatan keji dan semena-mena. Ketika terdapat pemimpin suka berbohong, maka jelata secara umum juga pendusta.
Semua kalimat di atas yang diawali ‘kalau’, ‘jika’, dan ‘ketika’, ujung-ujungnya pasti rakyat yang salah. Namun tesis demikian tidak berlaku saat pertama kali dalam sejarah pemilihan presiden Indonesia ‘orang-orang gila’ masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meski kemudian disanggah oleh seorang komisioner KPU bahwa tidak ada ‘pemilih gila’, yang ada ialah pemilih dengan gangguan jiwa atau gangguan ingatan bisa mencoblos berdasarkan putusan MK.
Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki hak pilih pada Pemilu 2019, 17 April 2019. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan peraturan perundangan lainnya memang menjamin hal demikian. Entah bagaimana mereka bisa sepakat, sehingga sejumlah besar panti gangguan jiwa menggunggulkan seorang saja. Masih jauh dari waktu ayam jantan berkokok, sebuah komisi pemilih mengumumkan dan menetapkan kemenangan dua sosok yang kondisi mentalnya masih sesuai kewarasan standar WHO.
Lain halnya, bila pindah ke negara tetangga yang amat jauh. Para pemilih yang sudah gila, akhirnya memang mendapatkan presiden dengan kewarasan di titik nadir. Kegilannya yang terbesar yakni hasrat berkuasa hingga melewati kelaziman dua periode. Ia memang berhasil. Alpha Conde maju lagi untuk periode ketiga pada Pemilihan Presiden 2020. Penguasa Guinea berhasil mencapai kegilaan maksimum dengan amandemen konstitusi. Presiden di negara-negara seluruh Afrika Barat, memang melonjak keinginan untuk berkuasa selama tiga periode. Semoga Indonesia bukan bagian dari serpihan benua itu, sebagaimana dulu sering terjadi kedunguan geografis yang marak di musim hujan. Meski terjadi banjir di Semarang, yang salah pasti Gubernur DKI Jakarta. Bahkan kala air meluap Tangerang, sekali lagi tudingan kesalahan ditodongkan kepada figur yang digelari Gubernur Indonesia itu.
“Wahai cermin ajaib, siapakah di negeri ini yang bisa berkuasa hingga tiga periode?” Sebelum suara jawaban terdengar, seorang berkaos warna merah putih, mengecilkan volume hingga di angka nol. Ia tak butuh jawaban itu, karena pada kaos yang dikenakannya sudah tercetak muka dua orang untuk menjadi penguasa pada 2024. Pada waktu berbeda, terdengar pertanyaan berulang, “wahai cermin ajaib, siapakah di negeri ini yang mampu berkuasa hingga tiga periode?” Berbeda dengan sosok berkaca mata yang berkaos merah putih tadi, figur berkemeja putih tersebut berminat mendengar suara yang jujur. Namun tak ada ucapan dari dalam mirat, hanya muncul hembusan uap, kemudian terbaca ** … ** (bagian ini disensor, cukup bila diduga keras kejadian di atas terjadi di Afrika Barat).
Seperti halnya cerita yang dipublikasikan dua akademisi kakak-beradik Jacob Ludwig Carl Grimm (1785-1863) dan Wilhelm Carl Grimm (1786-1859) tentang kisah cermin ajaib dan Putri Salju. Memang sebaiknya penguasa, pelantang, hingga para pendengung memiliki cermin yang bisa diajak bicara. Cara yang gampang melalui aplikasi, sehingga cukup merefleksi hasrat melalui ponsel masing-masing. Kekuasaan mungkin akan sama saja pada akhirnya, yakni ada yang tak ingin tersaingi dalam kecantikan dan yang lain yang hendak berkuasa dengan batas waktu yang bergeser lebih lama. Hanya perlu dijelaskan bagaimana seorang pemimpin bisa menjadi cermin itu sendiri, tempat masyarakat memandang kegilaan diri satu per satu.
Jakarta, 16 September 2021