menitindonesia, MAKASSAR – Adalah Syamsir Anchi, aktivis 98 yang masih konsisten di jalur gerakan moral, dan kerja sosial. Pria kelahiran, Bulukumba, 24 Februari 1974, dengan panggilan akrab Anchi itu, masih tampak bersemangat ketika disambangi di markasnya, di Tamalanrea, Pintu Nol samping kampus Unhas.
Stylenya, masih ala mahasiswa, memakai sendal gunung, baju kaos polos, bedanya hanya rambut panjangnya yang tidak nampak lagi. Sekarang, kepalanya sedikit gundul. Kalau soal sikap kritis, masih sama seperti dulu, ketika ia kuliah di Fakultas Sastra Unhas tahun 1993. Hingga kini, sikap kritisnya tidak berubah.
Lalu, apa yang membuat aktivis 98 ini tetap berada di jalur gerakan moral dan memelihara idealismenya hingga kini. Padahal, banyak peluang dan tawaran yang datang, bisa menikmati zona nyaman, namun ia tetap memilih berada di pinggir panggung yang hiruk-pikuk, dan tetap tinggal di pondokan, bersama istri dan dua putrinya.
Hati nuraninya masih peka. Senantiasa tergugah kala melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Anchi menuturkan, turunnya Soeharto bukan berarti agenda reformasi selesai. Justru, kata Anchi, yang pernah mogok makan di DPRD Sulsel karena mendampmgi buruh Kawasan Industri Makassar (Kima) dan dilarikan ke RS UMI ini, justru kondisi kini, di era kebebasan, orang-orang terzolimi malah makin banyak, kasus nepotisme menjadi-jadi, korupsi makin menggila, dan perusakan lingkungan tidak terelakkan.
Kondisi inilah yang menggugah Syamsir Anchi, sang seniman jalanan itu, untuk mendirikan sebuah lembaga non profit, LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, bernama PILHI (Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia) di tahun 2006.
Demonstran Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD) era 98 ini, dikenal sebagai pencinta lingkungan hidup. Berkat kecintaannya dengan alam lingkungan, ia sempat bergabung dengan SAR Unhas yang konsen pada kerja-kerja kemanusiaan, sekaligus beradaptasi dengan lingkungan.
Untuk menghidupi keluarganya, ia membuka usaha penyewaan alat-alat outdoor dan bekerja sama dengan penyedia alat-alat mendaki atau camping dengan tarif yang sangat terjangkau bagi semua kalangan.
Anchi juga pernah menjadi wartawan Tabloid Aliansi ketika masih mahasiswa, dan yang pasti ia salah seorang penggerak massa ketika bergabung di AMPD di mana waktu itu Isradi Zaenal sebagai koordinator AMPD, lalu di zaman Akbar Endra menjadi Koordinator, AMPD Makassar makin dikenal luas karena aksi-aksinya yang terbilang tabu. Anchi sering ditunjuk kawan-kawannya menjadi Koordinator Lapangan (Korlap) aksi AMPD, termasuk Anchi sebagai salah satu dari ribuan aktivis 98 yang turun ke jalan menuntut dilengserkannya Soeharto mulai tahun 1995, hingga mei 1998.
Selain itu, Anchi juga tercatat sebagai pendiri LSM anti rasua bernama Forum Anti Korupsi (FAK) yang sedang ngetrend. Aktivitasnya saling mendukung, dan bisa membagi waktu. Di sela-sela aktivitasnya itu, ia menerima jurnalis menitindonesia di ruang kerjanya yang sangat sederhana.
Ia bercerita, kasus yang ditanganinya sekarang, yakni advokasi korban penggusuran di kabupaten Enrekang. Menurutnya kasus pendampingan di Enrekang paling banyak menyita waktu, karena banyak pihak-pihak yang bersinggungan, karenanya ia membagi tim.
“Semoga warga di lahan transmigran itu mendapat keadilan,” harapnya.
Ia melanjutkan, Ahad, 29 Januari 2022 baru saja pulang dari kota berjuluk Massenrempulu. Selanjutnya, ia berpesan akan tetap aktif di gerakan moral untuk melakukan pencerahan, karena menurutnya tantangan terbesar di negeri ini adalah membangun man power yang tangguh, anti suap dan rayuan. Banyak rayuan yang datang sejak memulai berkecimpung di LSM lingkungan, tetapi tidak satu pun diterimanya. (andi ade zakaria)