menitindonesia – Pernyataan kontroversi Presiden Joko Widodo untuk cawe-cawe di Pemilu 2024 demi menjaga kepentingan bangsa ke depan–setelah 10 tahun berkuasa–sedikit mengganggu akal sehat dan nalar saya sebagai warga bangsa. Sungguh, saya sangat terganggu dengan frasa “cawe-cawe” yang digunakan Presiden Jokowi di hadapan pimpinan media online dan media cetak di Istana Kepresidean, beberapa waktu lalu.
Saya menghindari untuk mengartikan kata “cawe-cawe” sebagai bentuk dukungan kepada salah satu bakal Capres. Sebab jika Presiden memihak kepada salah satu bakal capres, sudah jelas, presiden tak memikirkan kepentingan bangsa ke depan, tetapi sebaliknya, justeru mencemari institusi negara dengan birahi kekuasaan yang tak lagi terkontrol.
Presiden Jokowi adalah kepala negara yang mewakili semua warga negara, termasuk pendukung berbagai partai politik. Oleh karena itu, seorang presiden harus menjaga netralitasnya agar tidak memihak kepada satu partai atau kandidat tertentu. Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua warga negara merasa dihormati dan bahwa kepentingan negara diutamakan di atas kepentingan pribadi atau partai.
Maka, saya mencoba memahami perasaan Presiden Jokowi di penghujung masa jabatannya. Ada tiga hal yang ingin dicapai Jokowi memasuki post-power nanti. Pertama, Jokowi ingin membuat legacy selama 10 tahun berkuasa: membangun infrastruktur, mengadakan dan memindahkan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Kedua, Jokowi ingin memastikan bahwa semua suksesornya di Pilpres 2024 berkomitmen untuk melanjutkan agenda-agenda pemerintahan Jokowi yang belum selesai. Dan, ketiga, Jokowi ingin memastikan dirinya dan keluarganya aman dan nyaman setelah tidak lagi menjabat presiden nanti.
Tiga point keinginan post-power tersebut, membuat Jokowi akhirnya terjun langsung mengendorse dua kandidat, yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Untuk Anies, ia membiarkan dua menterinya, yakni Sandiaga Uno dan Airlangga Hartarto memasuki koalisi perubahan untuk melakukan deal politik.
Catatan dan Saran Kepada Presiden Jokowi
Sikap presiden yang terkesan tidak netral pada Pemilu akan datang penting dikritisi dan sekaligus menjadi peringatan. Bahwa Presiden Jokowi harus memikirkan dan segera mengurungkan niat “cawe-cawe” di Pilpres. Beberapa catatan kritis dan saran yang harus menjadi pertimbangan sebelum Presiden “terjerumus” lebih dalam.
Pertama, Presiden Jokowi harus menghindari konflik kepentingan karena ia memiliki peran kunci dalam menjalankan pemerintahan dan membuat keputusan strategis yang mempengaruhi kehidupan rakyat. Jika presiden tidak netral dalam pemilu, risikonya akan terjadi konflik kepentingan. Hal ini dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya negara untuk keuntungan pribadi atau partai tertentu, yang merugikan proses demokrasi yang seharusnya adil dan transparan.
Kedua, Presiden Jokowi harus menjaga demokrasi dan kredibilitas Institusi negara. Netralitas presiden adalah kunci untuk menjaga demokrasi dan memelihara kredibilitas institusi kepresidenan dan lembaga-lembaga pemerintahan. Sebagai pemimpin negara, Presiden Jokowi harus menjadi sosok yang adil dan obyektif. Jika Presiden Jokowi terlibat secara terbuka atau mendukung satu kandidat atau partai, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara dan memicu polarisasi dalam masyarakat.
Ketiga, Presiden harus mendorong persatuan nasional. Dalam Pemilu akan muncul perbedaan pendapat yang tajam dan ketegangan politik di antara pendukung kandidat atau partai yang bersaing. Sebagai pemimpin negara, Presiden Jokowi harus berupaya memperkuat persatuan nasional dan mengurangi ketegangan tersebut.
Dengan tetap netral, presiden dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog yang konstruktif, mempromosikan pemahaman saling menghormati, dan mempersatukan masyarakat di tengah perbedaan politik.
Keempat, Presiden wajib menjaga integritas Pemilu. Sebagai pemegang jabatan publik tertinggi, presiden harus berkomitmen pada integritas Pemilu dan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan menjaga netralitasnya, Presiden Jokowi akan memberikan contoh yang baik dan memberi keyakinan kepada publik bahwa proses pemilu akan berlangsung secara adil dan bebas dari campur tangan yang tidak seharusnya. Hal ini penting untuk mempertahankan kepercayaan publik pada sistem politik dan demokrasi kita.
Nah. Netralitas presiden pada pemilu adalah prasyarat penting untuk memastikan keadilan, integritas, dan persatuan dalam proses demokrasi. Presiden wajib mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau partai politik. (*)