Akbar Endra, adalah Jurnalis Menit Indonesia, tinggal di Jakarta
Oleh Akbar Endra (Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – PRESIDEN Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah lembaga yang akan mengelola aset negara senilai lebih dari Rp900 triliun.
Langkah ini bukan hanya tonggak baru dalam strategi investasi nasional, tetapi juga perwujudan gagasan Prof. Soemitro Djojohadikusumo, ekonom kawakan yang pernah mengusulkan mekanisme serupa sejak 1985.
Danantara diharapkan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, mengoptimalkan investasi negara, dan menciptakan lapangan kerja. Namun, di balik ambisi besar ini, ada tantangan serius yang harus dihadapi: bagaimana memastikan Danantara dikelola secara profesional, transparan, dan tidak menjadi beban baru bagi negara?
Mimpi Lama yang Menjadi Nyata
Prof. Soemitro, yang dikenal sebagai arsitek ekonomi Orde Baru, sejak lama berpendapat bahwa aset negara harus dikelola secara mandiri agar tidak hanya bergantung pada APBN atau utang luar negeri. Ia mengusulkan penyisihan 1-5% laba BUMN untuk membentuk dana investasi yang akan memperkuat sektor riil, khususnya koperasi dan usaha kecil-menengah (UKM).
Sayangnya, di masa itu, ide ini tidak mendapat tempat. Kini, setelah hampir 40 tahun, gagasan tersebut dihidupkan kembali oleh putranya, Presiden Prabowo Subianto. Dengan model mirip sovereign wealth fund (SWF) yang diterapkan di negara-negara seperti Norwegia, Singapura, dan Uni Emirat Arab, Danantara diharapkan menjadi mesin ekonomi baru bagi Indonesia.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa dana investasi negara bisa menjadi senjata makan tuan jika dikelola dengan buruk. Kasus Jiwasraya, Asabri, hingga dugaan korupsi di Pertamina adalah contoh nyata bagaimana kesalahan strategi dapat berujung pada kerugian triliunan rupiah.
Lalu, apakah Danantara bisa sukses? Atau justru akan menjadi bagian dari daftar panjang kegagalan investasi negara? Ini adalah tantangan Besar di Depan Mata.
Good Governance atau Malapetaka Baru?
Ekonom Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menekankan bahwa keberhasilan SWF sangat bergantung pada tata kelola yang transparan dan bebas dari intervensi politik. Ia menyebutkan bahwa banyak negara gagal mengelola aset publik karena lemahnya pengawasan dan tingginya moral hazard.
Sebagai solusi, Danantara harus dibuka untuk audit publik, memiliki mekanisme checks and balances, serta melibatkan auditor independen dan KPK untuk memastikan transparansi penuh.
Risiko Salah Investasi
Teori Modern Portfolio Theory (MPT) dari Harry Markowitz mengajarkan bahwa setiap dana investasi harus terdiversifikasi untuk mengurangi risiko. Jika Danantara hanya menanamkan modal di sektor tambang atau infrastruktur, maka fluktuasi harga komoditas atau proyek mangkrak bisa mengakibatkan kerugian besar.
Portofolio Danantara harus tersebar di berbagai sektor strategis seperti teknologi, agribisnis, dan energi terbarukan untuk menghindari ketergantungan pada satu industri.
Potensi Intervensi Politik
Dalam bukunya “The Globalization Paradox”, ekonom Dani Rodrik menegaskan bahwa negara harus berperan aktif dalam pembangunan ekonomi, tetapi tetap membatasi campur tangan politik dalam keputusan investasi. Jika Danantara terlalu banyak dikendalikan oleh kepentingan politik, maka pengelolaan aset bisa menjadi tidak efisien dan berisiko tinggi.
Untuk itu, pemilihan pimpinan Danantara harus berbasis kompetensi, bukan kedekatan politik. Pemisahan antara kebijakan ekonomi dan kepentingan politik harus diperkuat.
Kredibilitas di Mata Investor
Keberhasilan Temasek Holdings (Singapura) dan Norwegian Government Pension Fund terletak pada kredibilitas dan transparansi mereka di mata investor global. Sebaliknya, jika Danantara gagal membangun kepercayaan, maka ia hanya akan menjadi “kumpulan aset mati” tanpa pertumbuhan signifikan.
Dengan demikian, laporan keuangan Danantara harus dipublikasikan secara berkala, dan investasi harus melibatkan mitra global yang kredibel untuk memperkuat kepercayaan pasar.
Kepemimpinan adalah Kunci
Sehebat apa pun konsep Danantara, kesuksesannya bergantung pada siapa yang memimpinnya. Jika dikelola oleh orang-orang yang kompeten, profesional, dan visioner, maka Danantara bisa menjadi warisan ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.
Namun, jika jatuh ke tangan yang salah—orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan politik—maka Danantara bisa menjadi beban negara yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.
Dalam konteks ini, teori Joseph Schumpeter tentang “Creative Destruction” menjadi sangat relevan. Ia menekankan bahwa ekonomi akan tumbuh jika ada inovasi dan efisiensi, bukan dengan mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak produktif.
Sebagai puncuk pimpinan Danantara, ini pelajaran penting buat Rosan Roeslani Jangan hanya menyuntikkan dana ke BUMN yang sudah bermasalah. Fokuslah pada inovasi, industri masa depan, dan investasi yang memberikan dampak nyata bagi perekonomian nasional.
Antara Harapan dan Ancaman
Danantara adalah pertaruhan besar bagi pemerintahan Prabowo. Jika dikelola dengan benar, ia bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang membawa Indonesia ke level baru.
Namun, jika salah langkah, Danantara bisa menjadi lubang hitam keuangan negara, menambah daftar panjang kegagalan pengelolaan aset publik. Kini, bola ada di tangan pemerintah: Apakah Danantara akan menjadi warisan emas atau justru mimpi buruk ekonomi? Waktu yang akan menjawabnya.