Skandal Pokir DPRD OKU: KPK Bongkar Modus Korupsi yang Rugikan Negara

Oknum Anggota DPRD OKU dan kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU dicocok KPK usai menjual Pokir DPRD ke kontraktor. (ist)

KPK mengungkap skema korupsi berjamaah di DPRD Ogan Komering Ulu (OKU). Anggaran Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD dijadikan alat bagi para wakil rakyat untuk meraup keuntungan pribadi, dengan fee proyek mencapai 20 persen. Siapa saja yang terlibat? Simak investigasi lengkapnya!
menitindonesia, JAKARTA –  Di balik anggaran aspirasi yang diklaim untuk kepentingan rakyat, sebuah skema korupsi sistematis terbongkar. Anggota DPRD Ogan Komering Ulu (OKU), memanfaatkan skema Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD untuk menguasai proyek di Dinas PUPR Kabupaten OKU. Tak tanggung-tanggung, mereka menetapkan ‘jatah’ sebesar 20 persen sebagai upeti setelah menyetujui APBD 2025.
BACA JUGA:
Pererat Kerja Sama Forkopimda, Munafri dan Aliyah Berkunjung ke Polrestabes Makassar
Skema ini telah lama menjadi rahasia umum, namun baru sekarang KPK berhasil mengendus dan mengungkap modus operandi yang melibatkan oknum legislatif dan eksekutif dalam praktik kotor pengelolaan anggaran daerah.

Permainan Kotor di Balik Anggaran Pokir

Modusnya sistematis. Dengan alasan reses untuk menyerap aspirasi masyarakat, anggota DPRD mengajukan Pokir sebagai program prioritas. Namun, alih-alih mengawal proyek demi kepentingan publik, mereka justru mengendalikan proyek sendiri—menunjuk kontraktor yang mereka pilih atau bahkan mengerjakan proyek melalui perusahaan rekanan.
BACA JUGA:
Pemkab Maros Cairkan THR Bagi ASN, PPPK dan Anggota DPRD. Totalnya Rp 33 Miliar!
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten OKU, mengungkapkan bahwa praktik ini telah menjadi budaya korupsi yang mengakar di daerah. Ia dengan tegas menyerukan agar sistem Pokir DPRD segera dihentikan.
“Pada pembahasan anggaran, anggota DPRD meminta jatah Pokir. Kemudian, disepakati bahwa jatah Pokir dialokasikan untuk proyek fisik di Dinas PUPR sebesar Rp45 miliar,” ungkap Setyo di Gedung KPK, Minggu (16/3/2025).
IMG 20250317 WA0003 11zon
Ketua KPK Setyo Budiyanto menunjukkan bukti. OTT kasus korupsi ini terjadi bermula dari adanya Pokir DPRD OKU. (ist)
Lebih lanjut, dari total Rp45 miliar tersebut, Ketua dan Wakil Ketua DPRD mendapatkan ‘jatah’ Rp5 miliar, sementara setiap anggota DPRD menerima Rp1 miliar. Fee bagi mereka diambil langsung dari kontraktor yang mengerjakan proyek.
Namun, karena keterbatasan anggaran, total proyek kemudian dikurangi menjadi Rp35 miliar. Meski demikian, fee tetap dipatok 20 persen—total mencapai Rp7 miliar.

Pecah Proyek, Pinjam Perusahaan, dan Kongkalikong Kontrak

Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU, Noorpriansyah, memainkan peran krusial dalam memastikan kelancaran skema ini. Bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ia mengatur agar proyek-proyek tersebut dikerjakan oleh perusahaan tertentu yang telah disepakati dengan Bupati. Bahkan, semua kontrak ditandatangani di Lampung Tengah, jauh dari lokasi proyek, untuk menghindari pantauan publik.
Proyek-proyek ini dipecah menjadi sembilan paket dan ditawarkan kepada pihak swasta dengan komitmen fee 22 persen: 2 persen untuk Dinas PUPR, dan 20 persen untuk anggota DPRD.
Beberapa proyek tersebut antara lain: Rehabilitasi rumah dinas bupati – Rp8,39 miliar (CV Royal Flush), Rehabilitasi rumah dinas wakil bupati – Rp2,46 miliar (CV Rimbun Embun), Pembangunan kantor Dinas PUPR – Rp9,88 miliar (CV Daneswara Satya Amerta), Peningkatan Jalan Poros Desa Tanjung Manggus-Desa Bandar Agung – Rp4,92 miliar (CV DSA), Peningkatan Jalan Unit XVI-Kedaton Timur – Rp4,92 miliar (CV MDR Corporation).
Proyek-proyek ini dikerjakan oleh perusahaan yang nama dan legalitasnya hanya sekadar dipinjam. Sebenarnya, eksekusi proyek dilakukan oleh M Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso—dua orang dari pihak swasta yang kini juga ditetapkan sebagai tersangka.

Tangkap Tangan, Enam Tersangka, dan Pesan KPK

KPK akhirnya bertindak. Dalam OTT yang digelar di Kabupaten OKU, enam orang ditetapkan sebagai tersangka: Nopriansyah – Kepala Dinas PUPR OKU, Ferlan Juliansyah – Anggota DPRD OKU, M Fahrudin – Anggota DPRD OKU, Umi Hartati – Anggota DPRD OKU, M Fauzi alias Pablo – Pihak swasta, Ahmad Sugeng Santoso – Pihak swasta.
Setyo Budiyanto menegaskan bahwa praktik seperti ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat.
“Masyarakat harus paham bahwa anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah justru masuk ke kantong pribadi para pejabat. Ini bukan sekadar kasus suap biasa, tetapi sebuah sistem yang dirancang untuk memperkaya kelompok tertentu,” tegas Setyo.

Akankah Skema Pokir Dihentikan?

Kasus ini kembali menyoroti betapa sistem Pokir DPRD dapat dengan mudah disalahgunakan. KPK meminta pemerintah daerah menghentikan cara korupsi dengan mekanisme Pokir ini.
Setyo berharap, skema Pokir yang selama ini menjadi ladang basah antara oknum legislatif dan eksekutif di daerah segera dihentikan untuk mencegah korupsi terselubung. “Jangan sampai uang negara bocor,” tegasnya.
(Tim | Menit Indonesia)