Dari Rp70.000 Jadi Ilmuwan Dunia, Kini Ja’far Hasibuan Obati Ratusan Warga Secara Gratis

Ja'far Hasibuan mendapatkan sertifikat penghargaan dari Kepala Desa.
  • Berawal dari uang Rp70.000 dan tekad baja, Muhammad Ja’far Hasibuan kini dikenal sebagai ilmuwan kelas dunia penemu Biofar SS. Namun di puncak kariernya, ia justru turun ke desa, mengobati ratusan warga secara gratis dalam peringatan Dies Natalis FKM USU ke-32 di Deli Serdang.
menitindonesia, DELI SERDANG — Pagi itu, udara di Balai Desa Marendal I masih lembap oleh sisa embun. Namun, warga sudah berbondong-bondong datang. Ada yang membawa anak, ada pula yang menenteng kantong plastik berisi obat lama yang tak lagi manjur. Mereka datang dengan satu harapan: bertemu langsung dengan ilmuwan muda yang namanya kini mendunia — Muhammad Ja’far Hasibuan.
BACA JUGA:
Imbas Efisiensi, Anggaran Perbaikan Jalan di Maros Dipangkas
Di bawah spanduk bertuliskan “Bersinergi Mewujudkan Kesehatan Masyarakat untuk Bangsa”, Ja’far menyambut satu per satu pasien. Dengan senyum tenang dan suara lembut, ia memeriksa luka, menanyakan gejala, lalu meracik ramuan herbal buatannya — Biofar SS, formula yang lahir dari penelitiannya bertahun-tahun.
“Ilmu harus bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama,” katanya pelan, sebelum memulai pengobatan massal di acara Dies Natalis ke-32 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara, Senin (27/10/2025).

Dari Rp70.000 Menuju Dunia

Ja’far bukan ilmuwan yang tumbuh di laboratorium berpendingin udara. Ia lahir dari perjalanan panjang penuh luka dan kerja keras. Dua dekade lalu, ia merantau ke Medan hanya dengan uang Rp70.000 di saku. Ia tidur di masjid, menumpang makan, dan bekerja serabutan. Tapi satu hal tak pernah padam: keyakinan bahwa ilmu bisa mengubah nasib.
Dari kegigihan itu, lahirlah Biofar SS, inovasi pengobatan herbal untuk penyakit kulit luar dan dalam. Formula ini membawanya ke berbagai panggung ilmiah dunia, dari Asia hingga Eropa, dan mengantarnya menerima ratusan penghargaan internasional.
Kini, setelah dikenal sebagai ilmuwan berkelas dunia, Ja’far memilih kembali ke desa — bukan untuk berlibur, tapi untuk melayani.
IMG 20251027 WA0005 11zon
FOTO Ilustrasi: Ja’far Hasibuan memberikan pengobatan gratis.

Antusiasme dan Air Mata

Sejak pagi, antrean panjang terlihat di balai desa. Ratusan warga datang dari berbagai penjuru Deli Serdang. Di antara mereka, ada yang sudah lama menderita penyakit kulit, ada pula hanya ingin mendengar kisah hidup sang ilmuwan.
BACA JUGA:
Sosialisasikan Keselamatan Penerbangan, AirNav Siap Gelar Run Way Run 2025
Saat Ja’far bercerita tentang masa-masa sulitnya dulu, suasana hening. Beberapa warga meneteskan air mata. “Saya sudah sepuluh tahun memberikan pengobatan gratis,” ujarnya dengan mata berkaca. “Karena saya tahu betapa besar manfaatnya bagi orang banyak.”
Selain pengobatan, acara itu juga diisi penyuluhan kesehatan oleh Sri Rahayu Sanusi, SKM., M.Kes., Ph.D., dosen FKM USU. Ia membawakan materi ringan tapi sarat makna: “Hidup Sehat, Hidup Bahagia.”

Apresiasi dan Inspirasi

Kepala Desa Marendal I, Ir. Ardianto, menyerahkan sertifikat penghargaan kepada Ja’far sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya.
“Kami bangga ada anak muda Indonesia seperti Ja’far. Ia bukan hanya berprestasi di dunia internasional, tapi juga turun langsung membantu masyarakat desa,” ujarnya.
Sementara Annisa Rizky Lestari, M.K.M., perwakilan FKM USU yang menjadi moderator acara, menyebut kegiatan ini sejalan dengan semangat kampus: “Kolaborasi antara ilmu dan pengabdian.”

Ilmu, Empati, dan Tanggung Jawab

Dalam catatan prestasi, Ja’far bukan nama sembarangan. Ia telah dianugerahi berbagai penghargaan bioteknologi internasional dan bahkan diangkat sebagai anak asuh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo karena kiprahnya yang inspiratif.
Namun di balik itu semua, ia tetap sederhana. Tidak ada jas laboratorium mewah, tak ada mobil dinas. Yang ada hanyalah tekad kuat untuk menolong sesama.
“Ilmu adalah amanah,” katanya menutup acara dengan suara bergetar. “Semakin tinggi ilmu, semakin besar tanggung jawab kita untuk menolong orang lain.”
Di tengah tepuk tangan warga, Ja’far tersenyum. Pengabdian ini bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan sebuah perjalanan batin — dari laboratorium menuju hati rakyat.