Catatan Pinggir Munas KKT: Ikatte Turatea Rate Tonji

 

Oleh Annas GS Karaeng Jalling
(Mantan Sekretaris KPU Sulawesi Selatan)
CATATAN ini bukan politik identitas, tetapi suatu pandangan primordialisme yang menjunjung tinggi ikatan sosial berupa nilai-nilai, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik,  tradisi dan budaya yang terbawa dari kampung, tanah kelahiran saya, Turatea atau Jeneponto.
Saya terinspirasi tentang kampung kelahiran saya ini setelah mengikuti Musyawarah Nasional (Munas) Kerukunan Keluarga Turatea (KKT). Ada sebuah nilai dan potensi yang dimiliki warga Turatea, yaitu kekuatan kekerabatan yang bisa menjadi entitas politik elektoral di era demokrasi.
Awalnya, saya termasuk orang yang tidak setuju KKT dijadikan kendaraan politik atau berpolitik praktis dengan cara menjadi afiliasi partai-partai dalam setiap pesta demokrasi, seperti Pemilu dan Pilkada. Setidaknya pandangan ini lahir di waktu saya masih aktif sebagai Sekretaris KPU Sulsel, penyelenggara kepemiluan atau pekerja demokrasi.
Namun, setelah saya pensiun dari aparatur sipil negara (ASN) dan keluar dari hiruk-pikuk birokrasi, saya mulai masuk bergabung dan menjadi bahagian keluarga besar KKT. Akhirnya setelah mengenal dari dalam dan menjadi senyawa dengan organisasi paguyuban kampung saya ini, timbul kesadaran dalam benak saya: betapa pentingnya perpolitikan dalam komunitas Turatea itu.
Akhirnya, saya pun berpikir, KKT harus mengubah sikap politiknya, terutama dalam hal partisipasi. Penyaluran aspirasi politik KKT perlu diberikan ruang dalam konstitusi KKT supaya tidak ketinggalan momentum politik di setiap even demokrasi.
Alasannya sederhana, yakni anggota KKT itu banyak, ada di mana-mana, tersebar di seluruh penjuru dan selalu menjadi bagian dari dinamika sosial kemasyarakatan. Tentu, itu adalah social capital dan jika dikelolah dengan baik akan menjadi political capital dengan kekuatan elektoral.
Jumlah populasi maupun sumber daya manusia KKT di luar Jeneponto, itu sangat besar dan hampir sama banyaknya jumlah penduduk yang ada di Jeneponto. Itulah sebabnya, mengapa perlu diperhatikan secara serius eksistensi KKT, sebagai salah satu lumbung suara di berbagai even-even politik seperti Pileg, Pilkada dan Pilpres.
Di satu sisi, saya termasuk orang bersyukur setelah menyaksikan tadi pembahasan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (konstitusi KKT), yang telah memberikan perhatian besar terkait bagaimana KKT mengambil sikap politik untuk memperjuangkan dan memenangkan anggota KKT yang akan berkompetisi pada even-even politik dalam pesta demokrasi.
Ada kesadaran primordial yang muncul dalam diri saya, semacam rasa berdosa kalau selama ini selalu membantu orang lain, baik di Pemilu maupun di Pilkada, sementara ada sekampung yang juga sedang berjuang untuk mencapai kemajuan Turatea.
Begitulah. Akhirnya dalam momentum Munas KKT dan setelah saya memutuskan memasuki belantara politik praktis sebagai seorang pensiunan ASN, maka perlu bagi kita komunitas Turatea secara bersama-sama membangun kesadaran: Ikatte Turatea Rate Tonji. Wallahu’ Alam