Antropomorfisme Boneka dan Pandemi Kekerasan Simbolik

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Ostaf al Mustafa
NEGARA dan pasar mengalami antropomorfisme, sehingga keduanya memiliki atribut karakteristik manusia, yang dapat berpikir, berbicara, dan bertindak. Jadi negara itu dapat pula berpikir, meski presidennya tak harus menunjukkan diri seperti itu dalam penampilannya di ruang publik. Bila terdapat frase ‘negara gagal’, itu juga merupakan bentuk antropomorfisme, yang bisa merujuk pada siapa yang menjadi rezim saat itu.
Bentuk antropomorfisme, bahkan bisa terjadi pada benda mati lainnya, seperti ketika Geppetto membuat Pinokio. Boneka ini sama sekali tidak menyerupai makhluk hidup, apalagi mirip dengan anak seseorang di zaman, ketika ia dibentuk dari potongan-potongan kayu. Carlo Lorenzini atau Carlo Collodi, pengarang dongeng tersebut tidak menjelaskan secara detail, bagaimana boneka tersebut berkelakuan sebagaimana halnya manusia. Lagi pula, sejak usainya Orde Baru belum pernah diberitakan adanya sosok peri yang bisa mengubah golek menjadi orang. Walaupun pada faktanya ada boneka yang sedemikian berkuasa.
Geppetto berupaya agar Pinokio bisa berkarakter sebagaimana manusia. Terdapat empat sifat Pinokio yang berupaya diubah Geppeto yakni dungu, suka berbohong, egois, dan polos. Sifat pertama dan kedua itu, berhasil dilakukannya. Masalahnya pada masa sekarang, selain tak ada peri, juga tak pernah tersebar secara viral adanya sosok seperti Geppeto. Sehingga dungu dan suka berbohong, yang dipadukan dengan hoaks dan prank, merupakan bentuk nyata antropomorfisme negatif tersebut.
Kini ketika pandemi belum selesai dengan episode nomor-nomor PPKM, kekerasan simbolik makin meluas. Bahkan empat huruf singkatan itu sendiri merupakan bentuk riil kekerasan simbolik. Kekerasan ini terhampar luas, disertai dengan ancaman-ancaman yang disalurkan melalui pemberitaan seperti denda, penjara, kriminalisasi, hingga penggunaan kekuatan militer di depan warung.
“Tindakan simbolis pemaksaan posisinya berada di atas semua kekuatan kolektif, konsensus, akal sehat, karena dilakukan oleh agen negara yang didelegasikan. Mereka itulah adalah orang-orang yang dipilih dengan otoritas tertentu untuk menjalankan monopoli kekerasan simbolik yang terlegitimasi.” (P. Bourdieau, “Social Space and the Genesis of ‘Classes”, entri dalam Language and Symbolic Power, Polity Press: Cambridge, 1991:239).
Tak ada kekuatan kolektif yang bisa bertahan lama, hingga benteng terakhir dari sikap kritis yang dilakukan muralis juga diberangus di setiap kota. Akal sehat semakin menjadi frase langka, meski Rocky Gerung tetap tangguh dengan kekuatan itu.
Mengapa kekerasan simbolik itu makin banyak dilakukan negara, tapi orang-orangan itu makin merasa nyaman melakukannya? Bourdieau memiliki jawabannya. Kapital simbolik, kekuatan simbolik dan kekerasan simbolik; konsep yang pertama kali dia diskusikan secara sistematis pada pertengahan 1970-an itu, bisa dijadikan panduan. (lihat: essai “On Symbolic Power” dalam Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity, 1991:163–170).
Salah satu bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan para buzzer berbayar dan juga Jemaat Islam Nusantara yakni penyebutan buruk pada apapun yang berkaitan dengan Arab. Istilah ‘kadal gurun’ (kadrun) hingga kebencian pada Islam yang berasal dari Arab, merupakan fenomena pandemi kekerasan simbolik yang dilakukan oleh orangan-orangan negara. “… sistem kolonial dapat berfungsi dengan baik, hanya jika masyarakat yang didominasi bersedia untuk mengambil sifat yang sangat negatif atau esensi penghinaan (orang Arab tidak bisa dididik, improvisasi, dll.), yang oleh masyarakat yang mendominasi menganggapnya sebagai takdirnya.” (P. Bourdieau, Algeria, h. 134, lihat: Steven Loyal, Bourdieu’s Theory of the State: A Critical Introduction, Ireland: Palgrave Macmillan, 2017:17-18). Proses-proses stereotipe terhadap orang Arab tersebut, disebut Bourdieau sebagai kekerasan simbolik.
Jika ada vaksinasi jenis baru sebaiknya ditujukan kepada mereka yang menyebar virus kekerasan simbolik itu. Kalau perlu jangan dua kali saja. Harus berkali-kali karena mereka itu bagian dari antropomorfisme kekuasaan boneka, sang pandemi itu sendiri.
Jakarta, 1 September 2021