“SAYA tidak pakai topeng, tetapi saya pakai akal sehat.” “Akal sehat bukan milik siapa-siapa. Ya akal sehat. Ya, saya mengatakan saya memakai akal sehat.” Serpihan-serpihak kalimat di atas, bila dilazimkan dengan kondisi sekarang, mungkin ada yang mengira itu ucapan yang itu berasal dari aktivis lintas zaman, Rocky Gerung. Sosok yang terkenal dengan kredo akal sehat, dan dimusuhi oleh mereka yang rendah logika bijak maupun yang bersamanya dalam penyesatan fakta. Tidak mesti dia, tapi frase itu penting setiap kali membaca pergantian berita yang melintas di halaman-halaman web maupun yang terbaca di grup-grup pribadi.
Kini terjadi involusi mental, bukan hanya reduksi akal sehat, yang membaur dalam ruang fiksi dan fakta, bahkan juga fiktif. Istilah involusi memang tidak lazim digunakan, berbeda dengan revolusi dan evolusi yang digelar semurah-murahnya dalam banyak padanan kata. Istilah Revolusi Mental sudah digunakan di Orde Lawas (diperkirakan terjadi di sekitar Orde Lama atau masa sebelumnya) dan kemudian diulang kembali dalam repetisi yang tak jelas buahnya. Meskipun sudah ditanam bibit hibridnya pada Pilpres 2014 oleh seseorang yang tak usah disebutkan namanya, tapi tak bisa ditemukan adanya profil individu yang bisa menjadi figur teladannya? Bahkan dua tahun (mungkin juga setahun lebih) kemudian—ketika sudah menjadi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental—tak ada siapapun yang seperempat dirinya telah terevolusi oleh instruksi tersebut.
Bila istilah Revolusi Mental itu disandingkan kepada Frederick W. Taylor (1856-1951) dan dikenal sebagai Taylorisme itu, maka semakin tak ada sosok sampelnya, bahkan sejak dari pucuk dan wakil pucuknya yang kini pendiam itu. Taylor menyebut, “a complete mental revolution, sebuah revolusi mental yang komplit”. Apakah Revolusi Mental hanya terlaksana pada setengah hati kosong dan separuh otak terisi, sehingga tidak pernah terjadi bum mentalitas yang benar-benar baik?
Tentang pemikiran Taylor itu bisa dilacak pada komentar editor di bagian kata pengantar buku tersebut yakni, upaya terakhir membawanya untuk mengidentifikasi karyanya dengan ‘revolusi mental yang komplit,’ menunjukkan kemungkinan transenden keharusan peningkatan manajemen di shop floor dan di masyarakat. (Daniel Nelson, A Mental Revolution: Scientific Management since Taylor, Ohio State University Press, Columbus, 1992: 2). Siapakah yang harus diubah sejak dari shop floor pendukung rezim yang menolak didebati itu? Mereka itu yakni varian orang-orang gila yang mayoritas memilih pasangan pemenang itu. Kemudian akademisi asongan, agamawan liberal, seluruh pendengung, segenap pelantang, dan yang berkomplot dengan para penyesat itu sejak dari hati hingga perbuatan. Tentu juga para politisi yang berada di lingkar kuasa itu. Merekalah yang berada di bagian utama pembuat dan penyuplai material kerusakan bangsa ini.
Kalimat-kalimat yang berisi ‘akal sehat’ di bagian awal tulisan tersebut, bukan berasal dari tokoh nyata. Seorang sastrawan asal Bali menuliskan dalam rangkain cerpen tentang orang-orang yang kehilangan rasa, moral, akal sehat, dan emosi, hingga menyeruak kekacauan-kekacauan mental akibat menggunakan jantung plastik. Bahkan secara spesifik digambarkan orang itu suka menggerundel atau berbicara tak jelas arahnya, mirip dengan seseorang yang namanya engkau kenal. Dalam salah dialog, sang tokoh fiksi itu mengelak “mengapa Anda mengatakan saya menggerundel?” (Putu Wijaya, Teror, PT Dunia Pustaka Jaya, 1991:98). Bila dalam kisah fiksi itu penyebab kemerosotan akal sehat dan mental afiat karena pemasangan jantung plastik, apakah kini karena dengkul sudah ditempeli otak plastik?