Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
Oleh Ostaf al Mustafa
HANYA berdasarkan manuskrip apokrifa, sehingga kemudian dalam khazanah Islam—jika masih bisa dikatakan linier dengan agama Tauhid—dikenal adanya pesaing-pesaing Allah dalam bentuk wali dan imam. Apokrifa ditujukan pada sumber yang tak jelas keasliannnya dan manuskrip yang tak bisa dirunut asal muasalnya secara sahih. Tiga sebutan seperti imago dei, demigod, dan semigod, ditujukan pada eksistensi individu-individu yang mampu melakukan kemustahilan, yang sebelumnya hanya Allah yang bisa menunaikannya secara prerogatif.
Dari bahasa Latin, imago dei berarti keserupaan dengan Tuhan, yang diadopsi oleh Yahudi, Nasrani, Sufi, dan Syiah. Demigod merupakan makhluk hibrida, hasil perkawinan silang antara dewa dan manusia. Semigod juga makhluk berdarah campuran manusia dan dewa. Semigod masih menyembah dewa yang lebih tinggi hierarkinya, tapi juga disembah manusia. Hingga akhirnya ada yang disebut a quarter-god atau vicus-god, yang memiliki kemampuan dewa seperempat saja.
Figur mitologi yang demigod itu antara lain Herkules, Perseus, dan Achilles. Khusus pada sosok ketiga terdapat ungkapan paradoksal dan sarkastis yakni sekuat-kuatnya seorang lelaki tetap memiliki kelemahan pada Achilles’ Heel (tumit Achilles). Sosok ini mirip dengan Duryudana, kakak tertua Kurawa dalam wiracarita Mahabharata, yang seluruh tubuhnya kebal kecuali bagian pinggang.
Bukan hanya dalam epos dan mitologi tersebut terdapat sosok-sosok yang mampu berkelakuan seperti layaknya Tuhan. Namun juga ada juga pesaing-pesaing Allah yang memiliki sifat rububiyah, karena dipercaya mampu juga menjadi pencipta, pemelihara, dan pengatur alam semesta. Bahkan juga memiliki idiosinkrasi uluhiyah, sebab bisa diibadahi dan dimintai pertolongan sebagaimana ketika berdoa pada Allah. Kalau dulu diberi korban berupa gadis-gadis perawan, kini cukup diberi sesajen kepala kerbau bahkan juga telur ayam ras.
Tidak ada data kronologis sejak kapan terjadi introduksi demigod Yunani tersebut ke dalam ajaran Islam. Hingga akhirnya memunculkan kepercayaan adanya imam dan wali yang mampu memelihara beberapa bagian tertentu belahan bumi. Bahkan bisa menyaring adanya serbuan penyakit ke bumi seperti pandemi Covid-19. Meski tak memiliki kotak Pandora, mereka tetap memiliki keunggulan berbicara dengan virus yang akan menyebar wabah.
Bila tak ada urutan kronologis tersebut, apakah kehadiran wali dan imam superhuman tersebut, juga mampu melakukan kemampuan anakronisme, dengan cara melawan aturan waktu? Misalnya bila mampu mencegah suatu bencana alam di 2021, maka bisakah mereka maju ke beberapa abad sebelumnya untuk menghilangkan penyebabnya? Padahal pada momentum tersebut oknum-oknum pseudo Tuhan itu, belum dilahirkan ke dunia. Bisakah cara berpikir diakronik dan anakronik dipakai untuk memahami tindakan-tindakan ketuhanan yang diyakini oleh para pemercayanya?
Karena keterbatasan dalam mengolah khayal dan menata khurafat dari para pembuat cerita, sehingga keunggulan para imam dan wali tersebut, kini sudah dikalahkan oleh para komikus dua industri komik yakni DC Comic dan Marvel. Dulu kemampuan manusia dalam cerita fiksi harus disesuaikan dengan tata kepercayaan, maka kini pupus sudah. Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900) menandai berakhirnya era membuat tokoh-tokoh khayal yang tersambung dengan keyakinan ilahi, setelah menulis Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None. Empat poin utama buku itu adalah the Übermensch (Sang Adimanusia), the death of God (kematian Tuhan), the will to power (hasrat untuk berkuasa), dan eternal recurrence (perputaran abadi).
Mungkin itu sebabnya, sehingga meski karakter-karakter DC Comics dan Marvel banyak berkemampuan sebagai layaknya dewa, tapi tak dikisahkan ada yang menyembahnya. Kecuali figur yang bersenjatakan palu Mjolnir dalam Thor (2011). Dikatakan dalam dialog, “Ini bukan seperti perjalanan ke bumi/ di mana kau bisa memanggil kilat dan guntur/ dan manusia memujamu sebagai Dewa”. Begitu pula dalam Justice League (2017) ketika Superman bangkit dari kematian terdengar dialog humor gelap dari Barry Allen atau Flash tentang bagaimana menghadapi sosok yang hampir seperti dewa. “Should we bow? Or show our bellies? Apakah kita harus menunduk atau mempersembahkan diri kita?”
Dari naskah nir-otentik dari era yang tak dipastikan awal kronologis presensi imam dan wali yang Pseudo ‘T’ itu. Dipastikan tak ada yang berkorelasi ke Rasulullah juga para sahabat, maupun dua generasi sesudahnya. Sehingga faktualisasi fiksi yang berimbuh pada keyakinan itu, serasa kembali ke mitologi Yunani. Salah satu area imajiner yang memungkinkan manusia bermain peran seperti dewa.