Bipolar Satu Data Indonesia dan Tipuan Kaum Farisi

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Oleh Ostaf al Mustafa
PERPRES Nomor 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI), ditetapkan Presiden Jokowi pada 12 Juni 2019, ini merupakan satu percikan satu titik api pemantik di tengah ruang besar suram, gelap, kelam dan kaburnya semua data yang dimiliki kementerian dan lembaga non-kementerian. Hampir tak pernah ada penyampaian data yang benar dari semua menteri, karena beberapa hari kemudian terkoreksi oleh berita dari sumber berbeda.
Pusdatin hanya pengepul data, tidak mengumpulkan sendiri data melalui tim yang dibentuk di lingkup internal. Hingga akhir riwayat LIPI, juga tak mewariskan satu pun histori adanya satu data yang bisa dipastikan kebenarannya. Dalam soal data, Indonesia di usia 76 tahun belum pernah seupil tahi kodok pun yang bisa dipertanggungjawabkan secara tepat. Pengumpul dan pengguna data seperti BPS, Disdukcapil, Kemendagri, Bappenas, Kemensos, dan sebagainya tak memiliki satu data sektoral tempat mereka bisa mendapat pasokan informasi yang sahih.
Bila Kemensos ditangkap hingga kemudian pengantinya terlihat mudah naik darah, penyebab utamanya itu tunggal. Kementerian itu memang tak punya data yang dimutakhirkan tentang siapa-siapa saja penerima bantuan yang berhak. Pusat data di kementerian tersebut tak becus. Seringkali pemda sudah mengirimkan perbaikan data, namun yang kemudian dikembalikan ke daerah ternyata masih data lama. Ada yang meninggal melewati satu masa rezim, masih dimasukkan sebagai penerima bantuan. ASN yang sudah makan gaji buta, masih juga menutup matanya ketika menerima dana BLT yang tak pantas untuk diri dan keluarganya. Belum lagi, nama-nama fiktif yang sengaja dibuat sebagai penerima bantuan.
Ulah Bipolar masih diperankan dalam penyampaian data mulai dari orang nomor satu, hingga pada mereka pada nomor-nomor yang tak terhitung di bawahnya. Pemilik kuasa nomor atas itu tidak berhenti mengoarkan data dan informasi salah sejak 12 Juni 2019, apalagi tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya sikap bipolar dalam bicara data itu sudah selesai di hari Rabu itu. Tapi siapa sangka Kamis, Jumat, Sabtu, hingga kembali di hari yang sama masih juga gemar dalam khianat angka-angka. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan dalam pertemuan para pemimpin negara juga demikian. Kasus terakhir, tapi mungkin bukan penutup, terjadi ketika Greenpeace membongkar data-data dusta di COP26 Glasgow tersebut.
Pandangan Bourdieau bisa dijadikan rujukan untuk melihat sikap bipolar, yang dalam konteks ini tidak sekedar masalah kejiawan dan mentalitas seorang yang mendua. Namun karena memang tak adanya keselarasan antara ucapan dan fakta riil. Bourdieu melihat adanya afirmasi kebenaran dan nilai-nilai universal yang dilakukan, atas nama bentuk elementer relativisme yang menganggap semua manifesto universalistik sebagai tipuan kaum Farisi (pharisaical tricks), meski sebenarnya dimaksudkan melanggengkan sebuah hegemoni, upaya tersebut merupakan cara lain, dalam arti yang lebih berbahaya karena dapat memberikan nuansa radikalisme, apabila ada yang menerima manifesto tersebut sebagaimana apa adanya. (Bourdieau, Pascalian Meditation, Stanford University Press, 2000: 71)
Pharisaical tricks ditujukan pada orang-orang yang hendak menunjukkan dirinya benar dan terpercaya, tapi sebenarnya kelakuan dan ucapannya justru menunjukkan sebaliknya. Pendeta-pendeta Yahudi dalam tradisi Yudaisme Farisi terkenal sangat sering berbohong sambil berlindung pada kata-kata yang dikutip dari kitab suci. Untuk apa itu dilakukan?
Hegomoni bisa dilanggengkan dengan membuat putaran kebohongan yang tak putus-putusnya, hingga akhirnya orang-orang kritis menjadi lelah dengan rentetan ketidakbenaran. Bila rezim dan orang-orang yang melingkar dalam kuasa itu sering melontarkan tuduhan radikal pada pihak yang berseberangan, justru menurut Bourdieau, Pharisaical tricks itulah yang merupakan tindakan radikalisme. Apalagi bila mayoritas rakyat Indonesia, kemudian menerima lontaran ucapan dusta berbasis data itu, tanpa filterisasi, verifikasi, dan validasi.
Bila para pejabat negara masih bersikap bipolar dan melakukan upaya radikalisme tipuan kaum Farisi, maka entah kapan wujud SDI terwujud. Setidaknya satu saja data yang benar, itu pun mustahil adanya.
Jakarta, 27 November 2021