Kita punya presiden berani dan nekat. Hasilnya seperti sekarang: kawan jadi lawan, dan lawan jadi kawan!
menitindonesia – Presiden Joko Widodo atau (Jokowi), kembali menegaskan kriteria pemimpin yang dikehendakinya, yaitu pemberani dan punya nyali. Pada acara Rakernas III PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jokowi menyebut Capres usungan PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, memiliki watak pemberani dan bernyali. Tetapi, brand itu juga pernah disematkan kepada Prabowo Subianto.
Lantas apakah Jokowi–yang dikabarkan meninggalkan Ganjar setelah resmi diusung PDI Perjuangan–kembali lagi ke pangkuan Megawati dan meninggalkan Prabowo Subianto? Jokowi adalah pemimpin yang selalu menjadi dirinya sendiri. Ia tak mudah didikte. Ia meyakini cita-citanya: bangsa ini menjadi negara maju pada tahun 2034, sepuluh tahun ke depan.
Nah. Dari keyakinannya itu, Jokowi keluar dari pakem seorang presiden yang memilih diam-diam di istananya menghadapi Pilpres. Jokowi terjun langsung ke lapangan mengurusinya. Bahkan, ia mengumpulkan Projonya di Gelora Bung Karno, berpidato tentang kriteria pemimpin. Lalu, Jokowi menegaskan diri, “Saya mau cawe-cawe di Pilpres!”
Pemimpin Kepala Batu
Pemimpin kepala batu cenderung keras kepala dan sulit didikte. Ia memiliki keyakinan atas visi dan misinya. Pemimpin kepala batu, pasti memiliki nyali yang kuat sehingga mendorong dia menjadi sosok pemberani–sekaligus nekat!
Pemimpin pemberani cenderung mempertahankan keyakinannya tanpa mempertimbangkan alternatif atau gejolak yang mengancamnya. Ia merasa lebih tahu apa yang terbaik dan tidak memberikan kesempatan kepada lawan politiknya untuk berkonstribusi. Kecuali lawan politik itu memilih bergabung dan mengikuti keinginannya.
Apakah Jokowi adalah seorang kepala batu? Dalam situasi bangsa seperti ini, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berani dan punya nyali. Karena bangsa ini harus cepat bangkit dan menjadi negara maju! Sesungguhnya, inilah yang memicu nyali Jokowi sehingga ia harus lantang dan berani mengatakan, “Kita harus jadi bangsa maju, kalau tidak kita akan dilibas oleh Amerika atau Cina!”
Pemimpin Nekat
Gaya Jokowi memimpin Indonesia, memang menunjukkan antitesa terhadap style pendahulunya, yang terkesan hati-hati dalam merespon setiap gejolak atau riak-riak di publik. Jokowi tidak mempertimbangkan resiko, tetapi ia tetap fokus pada tujuan utamanya: Indonesia Maju!
Sikap nekat Jokowi itu bisa dilihat dalam memperlakukan Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo dan Surya Paloh. Ia mengeluarkan Rizal Ramli dari Kabinetnya pada periode pertama, karena menterinya itu sering mewarnai kebijakannya. Juga ia mencopot Gatot dari Panglima TNI karena menilai sikap Gatot terlalu sering menggaruk luka lama (PKI) untuk mencari popularitas.
Jokowi tak peduli jika disebut bodoh oleh Rizal Ramli, dan juga ia tak mau pusing jika Gatot mencurigainya sebagai agen komunis. Bagi Jokowi, ia malas mendebat para demagognya yang kehilangan panggung! Terhadap demagognya, Jokowi memilih sikap: “Abaikan atau bereskan saja!”
Nah. Bagaimana sikapnya menghadapi gertakan Surya Paloh, yang di ujung kekuasaannya memilih berseberangan dengan Istana? Sungguh di luar dugaan. Jokowi memberi “surprise” kepada publik pegiat anti korupsi. Ia memerintahkan Jaksa Agung (bukan KPK) mengusut dan mencari tahu korupsi di lingkaran Surya Paloh bersama NasDemnya.
Hasilnya, Kejaksaan Agung menemukan ada indikasi korupsi pada proyek BTS 4G di Kemenkoinfo yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp8 triliun. Proyek ini diduga melibatkan menterinya, Jhony G Plate yang juga adalah Sekretaris Jenderal Partai NasDem besutan Surya Paloh.
Mendapat laporan itu, Jokowi meminta agar kasus ini diusut secara terang-benderang dan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Hasilnya, Jhoni G Plate ditetapkan tersangka, tangannya diborgol dan digiring ke mobil tahanan melalui jalur camera wartawan.
Sebelumnya, santer beredar rumor jika Kejaksaan Agung, selama ini dianggap sebagai binaan Surya Paloh. Tetapi penahanan Jhony G Plate, menjadi pelajaran bagi negeri ini: tak ada kawan abadi di politik, yang ada hanyalah kepentingan!
Gestur Jokowi ke Surya Paloh, juga semakin jelas. Dia tak lagi membutuhkan Surya Paloh meskipun dia adalah ketua umum partai dan bagian penting dari koalisinya. Jokowi menilai Surya Paloh bukan kawan sejati dalam berpolitik. Ia tahu persis posisi dan apa yang ada dalam benak Surya Paloh: menjadikan dirinya sebagai bagian dari permainan politik dan misi bisnisnya.
Nyali Jokowi yang tak surut menghadapi Surya Paloh dan NasDem, menandakan bahwa dia adalah pemimpin yang tak hanya kepala batu, tetapi juga nekat. Surya Paloh tentulah tidak selemah Gatot yang mencoba membangun koalisi semu atau Risal Ramli yang mulutnya berbusa-busa memaki-maki Jokowi.
Surya Paloh memiliki pengaruh yang kuat dan jaringan politik–yang boleh dikata–punya akar hingga ke bawah. Di saat Jokowi tak jabat Presiden lagi, pun Surya Paloh masih tetap memimpin Partai NasDem dan mengendalikan Fraksi NasDem di DPR. Apakah Jokowi menganggap Surya Paloh kekuatan politik yang rapuh? Hanya Dia yang tahu! Yang pasti Jokowi tak bergeming digertak!
Penting untuk diingat, bahwa setiap pemimpin memiliki kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. Tidak semua pemimpin yang memiliki sikap kepala batu tidak efektif. Justru sifat ini dapat digunakan secara positif dalam konteks yang tepat.