Opini: Konflik di PIK, Jawara Banten, dan Ketegasan Hukum yang Dipertaruhkan

Akbar Endra adalah Jurnalis pada portal berita online Menit Indonesia.

Oleh Akbar Endra
(Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – BENTROK di Pantai Indah Kapuk (PIK) baru-baru ini bukan sekadar persoalan konflik antara warga dan preman. Di balik insiden ini, terselip persoalan mendasar tentang supremasi hukum, keberanian pemerintah, dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan aturan.
BACA JUGA:
Program 3 Juta Rumah: Masyarakat Bingung, Kementerian PKP Diminta Transparan
Salah satu isu yang mencuat adalah penanganan terhadap bangunan atau aktivitas ilegal di kawasan tersebut. Publik bertanya-tanya, mengapa respons pemerintah terlihat setengah hati? Jika sesuatu dianggap ilegal, liar, dan tanpa izin, mengapa hanya disegel atau dihentikan? Bukankah seharusnya langsung dibongkar?

Ketegasan yang Diharapkan, Bukan Ambiguitas

Seperti yang sering kita lihat, tindakan terhadap sesuatu yang ilegal biasanya tegas: pembongkaran. Respons ini adalah simbol ketegasan hukum yang tidak memihak, apalagi memberi ruang kompromi. Namun, dalam kasus PIK, wacana “penyegelan” atau “penghentian” justru menghadirkan ambiguitas.
BACA JUGA:
Patrick Kluivert Mau Membuktikan Ramalan Gus Dur tentang Timnas Indonesia di Piala Dunia
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang hanya menyebut “penyegelan,” jika diterjemahkan secara operasional, bisa berujung pada tindakan menteri yang sebatas “menghentikan.” Publik dengan cepat menangkap sinyal ketidaktegasan ini dan menganggapnya sebagai langkah yang setengah hati, bahkan terkesan takut berhadapan dengan pihak-pihak tertentu.
Padahal, masyarakat telah terbiasa melihat bahwa untuk sesuatu yang benar-benar ilegal dan melanggar hukum, seperti bangunan liar di lokasi strategis atau wilayah terlarang, respons pemerintah biasanya adalah “bongkar.” Tidak ada ruang negosiasi atau kompromi.

Laut sebagai Kedaulatan, Bukan Ladang Ambigu

Jika kita bicara soal kedaulatan, laut adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah negara. Sama seperti pagar istana atau Kedutaan Besar negara asing, wilayah laut harus dilindungi tanpa ada keraguan. Tidak ada alasan untuk hanya menyegel atau menghentikan aktivitas ilegal di sana. Langkah tegas seperti pembongkaran menjadi satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa kedaulatan negara tidak dapat dinegosiasikan.
Bayangkan, jika ada bangunan liar berdiri di pagar Istana Negara atau Kedutaan Besar, apakah akan disegel? Tentu tidak. Bangunan itu pasti langsung dibongkar tanpa peringatan. Esensinya sama dengan aktivitas ilegal di wilayah laut Indonesia. Kedaulatan tidak boleh disikapi dengan setengah hati.

Mengembalikan Supremasi Hukum

Dalam konteks ini, jawara Banten yang turun tangan dalam bentrok di PIK seolah menjadi simbol dari ketegasan yang hilang. Mereka hadir karena merasa bahwa hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, tanggung jawab utama tetap berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka tidak gentar menghadapi siapa pun, termasuk pengusaha besar atau pihak-pihak dengan pengaruh kuat.
Hukum harus menjadi panglima. Jika pemerintah menunjukkan ketegasan—dengan langsung membongkar, bukan sekadar menyegel atau menghentikan—maka kepercayaan masyarakat terhadap negara akan pulih. Ketegasan ini juga menjadi pesan kepada semua pihak bahwa kedaulatan negara adalah harga mati.
Prahara di PIK adalah momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa supremasi hukum tidak bisa dikompromikan. Jangan sampai tindakan setengah hati seperti “penyegelan” atau “penghentian” memberikan kesan bahwa hukum dapat dinegosiasikan.
Masyarakat menunggu langkah nyata. Jika sesuatu itu ilegal, liar, dan tanpa izin, maka jawabannya sederhana: bongkar. Bukan hanya demi keadilan, tetapi juga demi menjaga marwah negara di mata rakyatnya sendiri.