OPINI – Revisi UU TNI dan Bayang-Bayang Dwifungsi: Ancaman bagi Demokrasi?

Akbar Endra, Jurnalis tinggal di Jakarta.

Oleh Akbar Endra
(Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia, INDONESIA kembali dihadapkan pada perdebatan besar terkait hubungan sipil-militer. Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah dibahas memunculkan kekhawatiran bahwa militer akan kembali masuk ke ranah sipil dengan lebih leluasa. Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika batas antara militer dan sipil kabur, yang terancam bukan hanya birokrasi, tetapi juga demokrasi itu sendiri.
BACA JUGA:
IHSG Terjun Bebas: Defisit Membengkak, Harga Bahan Pokok Melonjak, dan Harapan pada Prabowo
Namun, apakah ini hanya kekhawatiran berlebihan? Ataukah kita benar-benar sedang berjalan mundur ke masa lalu, di mana bayang-bayang dwifungsi TNI kembali menghantui sistem pemerintahan kita?

Kembali ke Masa Dwifungsi?

Dalam draf revisi UU TNI, terdapat sejumlah pasal yang memicu kontroversi. Salah satunya adalah Pasal 47, yang memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya hanya ada 10 posisi yang dapat diisi oleh personel militer aktif, kini jumlahnya meningkat menjadi 16 jabatan, termasuk di Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.
BACA JUGA:
Skandal Korupsi PGN: KPK Periksa Mantan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, Ada Apa?
Sejarah telah mengajarkan bahwa ketika militer terlalu banyak berperan dalam urusan sipil, yang terjadi bukanlah stabilitas, melainkan ketimpangan kekuasaan. Tentara memang dididik untuk disiplin, patuh, dan loyal kepada negara. Namun, apakah mereka dididik untuk memahami kompleksitas kebijakan publik, kesejahteraan rakyat, dan demokrasi yang sehat?
Samuel P. Huntington, dalam bukunya The Soldier and the State, menegaskan bahwa profesionalisme militer hanya bisa terjaga jika ada pemisahan tegas antara ranah sipil dan militer. Ia menyebut konsep objective control, yakni di mana militer tetap kuat dan profesional tanpa mencampuri urusan sipil. Sebaliknya, jika militer masuk ke dalam birokrasi, yang terjadi adalah subjective control, di mana mereka menjadi alat kekuasaan politik dan perlahan mengikis supremasi sipil.
Lalu, pertanyaannya: apakah kita sedang menuju ke arah itu?

Pelajaran dari Sejarah: Militer di Panggung Politik

Morris Janowitz, dalam karyanya The Professional Soldier, mengingatkan bahwa di negara-negara berkembang, militer sering kali mengambil alih peran sipil dengan dalih stabilitas dan pembangunan. Namun, di banyak kasus, hal ini justru melemahkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan otoriter.
Indonesia pernah mengalami bagaimana militer memainkan peran dominan dalam politik dan pemerintahan melalui doktrin dwifungsi di era Orde Baru. Hasilnya? Birokrasi penuh dengan jenderal yang lebih paham strategi perang dibanding strategi pembangunan. Kritik dibungkam, kebebasan sipil direduksi, dan demokrasi sekadar jargon kosong.
Kini, kita berada di persimpangan jalan. Jika revisi UU TNI ini lolos tanpa pengawasan ketat, apakah kita benar-benar yakin bahwa sejarah tidak akan terulang?

Pasal-Pasal Bermasalah yang Mengaburkan Batas Militer dan Sipil

Selain pasal 47, ada beberapa pasal lain yang menjadi sorotan. Pertama, Pasal 7 Ayat 2 menambahkan tiga tugas baru bagi TNI di luar perang, yaitu menanggulangi ancaman siber, menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) dan kepentingan nasional di luar negeri, dan menangani masalah penyalahgunaan narkotika
Penambahan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa TNI akan masuk ke dalam ranah hukum yang seharusnya menjadi tugas kepolisian.
Kedua, Pasal 53 mengubah batas usia pensiun prajurit TNI. Dengan revisi ini, perwira tinggi bintang empat atau jenderal dapat pensiun di usia 63 tahun, bahkan bisa diperpanjang dua kali sesuai keputusan Presiden.
Kebijakan ini berisiko menumpuk perwira non-job yang kemudian berpotensi ditempatkan di lembaga-lembaga sipil, menggerus profesionalisme serta kualitas kinerja birokrasi.
Kekhawatiran utama dari revisi pasal-pasal ini adalah potensi kembalinya peran ganda militer dalam pemerintahan sipil, yang dapat mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.

Suara Rakyat atau Suara Senjata?

Demokrasi sejati adalah ketika keputusan politik dibuat oleh mereka yang dipilih oleh rakyat, bukan oleh mereka yang memiliki pangkat di pundak. Militer memang pilar pertahanan negara, tetapi bukan berarti mereka harus mengambil alih kursi-kursi kebijakan sipil.
Kita tidak sedang mempertanyakan loyalitas dan pengabdian para prajurit. Mereka adalah putra-putri terbaik bangsa yang siap mati demi NKRI. Namun, justru karena itulah mereka harus tetap berada dalam jalurnya—menjadi garda pertahanan, bukan alat kekuasaan politik.
Jika kita lengah, jika kita diam, maka revisi UU TNI ini bisa menjadi titik balik menuju kemunduran demokrasi. Sebab, sejarah selalu berulang bagi mereka yang lupa.
Maka, pertanyaannya sekarang: apakah kita akan membiarkan sejarah itu terulang? Ataukah kita akan berdiri tegak, bersuara, dan memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi milik rakyat, bukan milik seragam?