Penulis, adalah Jurnalis Menit Indonesia, bertugas di Jakarta. (ist)
Oleh: Akbar Endra (Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – TEROR bukan sekadar ancaman fisik, tapi juga serangan terhadap keberanian. Pengiriman kepala babi ke kantor Tempo adalah pesan menakutkan yang ingin memadamkan nyali jurnalis dan membungkam kebebasan pers. Ini bukan hanya serangan terhadap satu media, tapi sinyal bagi semua jurnalis: “Hati-hati, kalian bisa jadi korban berikutnya.”
Namun, yang lebih berbahaya dari aksi teror ini adalah bagaimana respons yang muncul bisa menciptakan efek spiral of silence, seperti yang dijelaskan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Teori ini menyatakan bahwa ketika seseorang merasa pendapatnya tidak mendapat dukungan atau bahkan dianggap minoritas, mereka cenderung diam. Jika dibiarkan, situasi ini akan membuat kebenaran lenyap dalam kebisuan yang dipaksakan.
Dan itulah yang sedang terjadi.
Ketika Pemerintah Menyepelekan Teror
Juru Bicara Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, ketika ditanya soal pengiriman kepala babi itu, justru bercanda: “Silakan dimasak saja.”
Pernyataan ini bukan hanya meremehkan insiden serius, tetapi juga mencerminkan rendahnya kepekaan dan minimnya pemahaman komunikasi publik dari seorang pejabat yang seharusnya menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyat.
Diksi “silakan dimasak” dalam psikologi komunikasi bisa diartikan sebagai mekanisme defensif dan pelecehan terhadap korban. Alih-alih menunjukkan empati atau tanggung jawab, ia memilih merendahkan insiden tersebut dengan humor yang tidak pada tempatnya. Ini adalah bentuk gaslighting publik, sebuah strategi manipulatif untuk membuat korban dan masyarakat merasa bahwa reaksi mereka terhadap ancaman ini berlebihan.
Psikologi juga mengajarkan bahwa respon semacam ini bisa menciptakan disonansi kognitif—di mana masyarakat mulai mempertanyakan apakah ancaman ini memang serius atau hanya ‘main-main’. Padahal, pesan teror dengan kepala babi adalah bentuk intimidasi yang sangat simbolis dan sering digunakan oleh kelompok-kelompok kriminal untuk mengancam korban.
Lalu, bagaimana jika Hasan Nasbi sendiri yang menerima paket kepala babi di kantornya? Apakah ia akan tetap menanggapinya dengan candaan yang sama?
Dewan Pers: Pemerintah Harus Minta Maaf
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menanggapi pernyataan Hasan dengan tegas: “Dewan Pers meminta yang bersangkutan meminta maaf kepada korban dan publik karena candaannya mengarah pada ujaran kebencian.”
Ninik menegaskan bahwa teror kepala babi adalah tindakan kriminal. Seharusnya, tidak ada candaan dalam menyikapi ancaman serius seperti ini. Jika seorang jurnalis bisa diteror dengan kepala babi, lalu apa berikutnya? Pembunuhan seperti yang terjadi pada jurnalis-jurnalis yang tewas karena memberitakan kebenaran?
Akademisi Unhas: Demokrasi dalam Bahaya
Dukungan juga datang dari akademisi Universitas Hasanuddin, Hasrullah. Ia menegaskan bahwa teror ini adalah ancaman bagi demokrasi.
“Jika teror terhadap jurnalis dibiarkan, maka masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang objektif dan berimbang. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita,” tegasnya.
Teror seperti ini bukan hanya serangan terhadap Tempo, tetapi serangan terhadap hak publik untuk tahu. Ketika jurnalis dipaksa diam, maka masyarakat pun kehilangan kesempatan untuk mengetahui fakta sebenarnya.
Apakah Kita Akan Diam?
Teori spiral of silence adalah pengingat bahwa diam adalah kemenangan bagi mereka yang menebar ketakutan. Jika jurnalis merasa takut dan memilih untuk tidak menulis, maka kita semua kalah. Jika masyarakat tidak bersuara, maka kejahatan semacam ini akan berulang.
Pemerintah harus sadar bahwa komunikasi mereka tidak bisa sembarangan. Sebuah candaan di tengah ancaman serius bukan hanya mencerminkan ketidakpedulian, tetapi juga memperburuk keadaan.
Hari ini, kepala babi dikirim ke kantor media. Jika kita membiarkan ini berlalu begitu saja, entah apa yang akan datang esok hari.
Sebagai jurnalis, saya tidak akan diam. Dan saya harap, kalian juga tidak.
Bapak Presiden Prabowo Subianto, yang kami pilih untuk memimpin bangsa ini dan yang kami cintai sebagai pemimpin hebat, harus bertindak tegas. Jangan biarkan citra pemerintahan yang kuat dan bermartabat ini dirusak oleh kelalaian komunikatornya. Jangan biarkan ketololan komunikasi dari orang-orang di sekitar istana merendahkan kepemimpinan Anda yang berwibawa dan penuh harapan bagi rakyat.