OPINI: Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional!

akbar Endra adalah Jurnalis Menit Indonesia.

Oleh: Akbar Endra*
Refleksi aktivis 98 tentang Soeharto: dari simbol otoriter Orde Baru menjadi tokoh pembangunan yang layak dikenang sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
menitindonesia – NAMA Soeharto, Presiden Republik Indonesia ke-2, selalu menjadi perdebatan dalam sejarah bangsa ini. Ia memimpin Indonesia selama 32 tahun—dari 1966 hingga 1998—sebelum mundur di tengah gelombang Reformasi. Banyak yang mengingatnya sebagai simbol kekuasaan absolut. Tapi tak sedikit pula yang melihatnya sebagai bapak pembangunan yang meletakkan fondasi kuat bagi kemajuan negeri ini.
BACA JUGA:
Prabowo dan Bill Gates disambut Riuh Saat Cek Makan Bergizi Gratis di Jakarta Timur
Sebagai aktivis 98, saya adalah bagian dari sejarah yang turut mendesak Soeharto turun. Saya tumbuh bersama semangat perubahan. Namun setelah 25 tahun berlalu, saat kita menatap wajah bangsa hari ini—yang penuh kegamangan, politik transaksional, dan krisis keteladanan—saya merasa penting untuk menilai ulang sejarah dengan kepala dingin.
IMG 20250508 WA0005 11zon e1746680477580
Legacy Pembangunan era Soeharto

Warisan Pembangunan dan Stabilitas Nasional

Soeharto memang tidak sempurna. Tapi ia bukan tanpa jasa. Di masanya, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah pencapaian yang bahkan diakui oleh FAO (Organisasi Pangan Dunia). Ia juga membangun infrastruktur besar seperti Jalan Tol Jagorawi, PLTA Saguling, Bendungan Jatiluhur, dan memperluas akses listrik dan air bersih ke daerah-daerah pelosok.
BACA JUGA:
Prabowo Ucapkan Selamat kepada PM Baru Singapura Lawrence Wong Melalui Telepon
Melalui program Pelita dan Repelita, ia menggerakkan pembangunan nasional secara terencana. Dana Inpres (Instruksi Presiden) mengalir ke sekolah-sekolah dasar, puskesmas, dan jalan-jalan desa. Soeharto juga membangun stabilitas politik dan keamanan, menjadikan Indonesia dianggap sebagai macan Asia Tenggara pada era 1980–1990an.
Soeharto mungkin diktator, tapi ia tidak rakus jabatan. Ia lengser di usia 77 tahun setelah 32 tahun memimpin, dengan keputusan yang tak berdarah. Ia tidak membawa negara ke jurang perang saudara. Ia memilih diam, mengasingkan diri di Cendana, dan wafat pada 27 Januari 2008 dalam kondisi damai, tanpa pernah sekalipun membalas narasi kebencian terhadapnya.
Saya teringat prinsip Jawa yang ia pegang teguh: “mikul dhuwur mendhem jero, lengser keprabon mandeg pandhito.” Mengangkat tinggi jasanya, mengubur dalam kesalahannya. Setelah lengser, ia menjadi pribadi yang menepi, tidak lagi berpolitik, tidak menyusun partai baru, tidak menuntut balas.
Nelson Mandela berkata, “Reconciliation means working together to correct the legacy of past injustice.” Dan Theodore Roosevelt menegaskan, “A great nation must have the courage to honor its heroes, even when they are imperfect.”
Memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan berarti menghapus luka Orde Baru. Bukan pula upaya memutihkan sejarah. Tapi ini adalah langkah rekonsiliasi, penanda bahwa kita cukup dewasa untuk menghargai jasa tanpa harus mengingkari luka.
Sejarah tidak menuntut kita melupakan. Ia meminta kita untuk jujur, adil, dan berani memberi tempat kepada siapa pun yang berjasa. Maka, saya yang dulu meneriakkan “Turunkan Soeharto”, kini berkata dengan penuh kesadaran:
Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional.
*)adalah Jurnalis Menit Indonesia, tinggal di Jakarta