Pisau di Leher Anak: Rahasia Idul Adha yang Tak Banyak Diketahui Umat Islam

Penulis alumni Universitas Islam Makassar (IAIN Alauddin).
Oleh: Asrul Nurdin, S.Pd.
(Jurnalis Menit Indonesia)
  • Di balik tradisi penyembelihan hewan kurban setiap Idul Adha, ada kisah mengejutkan tentang Nabi Ibrahim yang nyaris mengorbankan anaknya sendiri. Apa makna sejati dari ibadah qurban? Mengapa umat Islam setiap tahun merayakannya dengan menyembelih kambing, sapi, atau kerbau? Temukan sejarah, hikmah, dan nilai spiritual Idul Adha yang jarang dikupas secara mendalam.
menitindonesia — Pagi itu, angin gurun menyibak jubah seorang lelaki tua. Matanya yang letih menatap ke arah anak remajanya, yang sedang mengatur kayu-kayu untuk api. Di balik gurun tandus yang menyimpan cerita abadi, seorang ayah bersiap melakukan sesuatu yang tak terbayangkan oleh hati manusia mana pun: menyembelih darah dagingnya sendiri. Bukan karena benci. Tapi justru karena cinta—kepada Tuhan.
BACA JUGA:
Pemprov Sulsel Pusatkan Salat Iduladha 2025 di Masjid Kubah 99 CPI Makassar
Setiap Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia mengenang momen yang sama. Seekor kambing atau sapi disiapkan, pisau diasah, doa dipanjatkan. Tapi jauh sebelum darah hewan mengalir di tanah-tanah desa hingga kota, ada darah yang hampir tertumpah—yang jauh lebih sunyi, namun mengguncang langit: kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail.
Di usia senja, setelah bertahun-tahun menanti, Ibrahim akhirnya dikaruniai anak dari Hajar, seorang perempuan Mesir yang dalam narasi tradisional disebut sebagai budak. Ismail tumbuh dengan kuat di padang pasir. Lalu, pada suatu malam, Ibrahim bermimpi diperintahkan Tuhan untuk menyembelih anaknya. Mimpi itu datang berulang-ulang. Dan bagi para nabi, mimpi adalah wahyu.
Dalam riwayat, Ibrahim menyampaikan kepada Ismail, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Dan Ismail, yang saat itu mungkin masih remaja, menjawab dengan ketegaran luar biasa: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Cerita itu menegangkan. Sebagian anak hari ini mungkin akan lari atau bertanya, “Ayah, kau waras?” Tapi Ismail memilih diam dan patuh. Ia tak hanya anak Ibrahim. Ia juga anak dari sejarah keimanan yang sedang diuji sampai titik akhir.
Lalu, dalam satu momen sunyi, Ibrahim menajamkan pisaunya, memejamkan mata, dan meletakkan leher Ismail. Tapi pisau itu menolak bekerja. Tuhan menahan pisau itu, dan menggantinya dengan seekor domba. Ismail selamat. Dan perintah qurban lahir dari situ—bukan sebagai ritual berdarah, tapi sebagai simbol penyerahan mutlak.
file 00000000fbfc62308b05a626bc9a65e2 11zon e1749158185628
Ilustrasi hewan qurban

Qurban Hari Ini

Di zaman ini, tidak ada lagi ayah yang diperintahkan menyembelih anak. Tapi setiap Idul Adha, umat Islam diminta merefleksikan ulang: apa yang sanggup kita korbankan untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri?
Apakah itu ego? Gengsi? Kekayaan? Atau, mungkin, keberanian mengakui kesalahan?
Di kampung-kampung, anak-anak menonton sapi yang digiring ke tanah lapang. Di kota-kota, antrean pembagian daging terjadi, kadang disertai sorak bahagia, kadang ketegangan karena tidak semua kebagian. Qurban hari ini adalah soal berbagi. Tapi lebih dari itu: ia adalah tentang mengingat bahwa cinta sejati tak pernah egois. Bahkan, bila perlu, rela kehilangan.
BACA JUGA:
Jenderal Listyo Sigit Belum Tergoyahkan, Istana Bantah Isu Pencopotan Kapolri di Era Prabowo
Karena itu pula, kata qurban dalam bahasa Arab berarti “dekat”. Pengorbanan bukan untuk menyakiti. Tapi untuk mendekat. Kepada Tuhan. Kepada sesama. Kepada nilai yang lebih luhur.
Pagi hari setelah salat Id, di banyak tempat, darah hewan kembali mengalir. Tapi mungkin, di saat yang sama, ada darah lain yang lebih halus ikut mengalir di dalam dada mereka yang merenung: darah keberanian untuk melepaskan, darah kasih untuk berbagi, darah iman untuk menyerah total kepada yang Maha Mengatur.
Idul Qurban bukan tentang kambing atau sapi. Tapi tentang jejak pisau yang tak pernah benar-benar menyentuh leher anak manusia—karena Tuhan lebih peduli pada niat hati daripada darah daging.
Dan di situlah, cinta Ibrahim dan Ismail abadi. Bukan karena mereka rela mengorbankan satu sama lain. Tapi karena mereka sanggup mencintai Tuhan, lebih dari hidup itu sendiri.
Di antara riuh takbir dan aroma daging panggang, terselip pertanyaan paling sunyi: Apa yang sanggup kita lepaskan demi sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri?
Itulah makna Idul Qurban yang sejati. Selamat memperingati Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1446 Hijriah. Semoga kita sekalian bisa memetik hikmah dari kisah Ibrahim dan Ismail, memiliki sabar yang tiada bertepi, ikhlas yang tiada terkira. Itulah Cinta sejati!