Oleh Ahmad Mabbarani - Koordinator Forum Anti Korupsi (FAK) Sulawesi
MENGAWALI tahun 2022, orang-orang harus mulai membangun harapan baru dan awal yang baru untuk lebih baik dan lebih maju ke depan. Hidup ini harus menjadi lebih baik dan pencapaiannya memberi banyak manfaat kepada orang lain (khoirunnas anfauhum linnas), dirasakan oleh masyarakat dan mewujudkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bukan hanya kita, tapi semua orang di muka bumi, dari negeri manapun, sedang berjibaku keluar dari pandemi wabah Covid 19 yang telah menghasilkan krisis di semua sektor. Baik itu krisis ekonomi, sosial dan budaya. Banyak orang yang terpuruk secara ekonomi dan sulit bangkit kembali setelah dilanda krisis (jatuh miskin).
Terutama bagi pelaku ekonomi menengah ke bawah, mereka sangat merasakan dampak pandemi, yang tak hanya berimbas pada kesehatan masyarakat, tapi efeknya, telah menimbulkan krisis multidimensi.
Konsekuensi kebijakan pembatasan aktifitas masyarakat, tentu sangat dirasakan dampaknya oleh pengusaha menengah dan kecil atau UMKM. Banyak UMKM yang tutup usaha selama pandemi Covid-19. Modal usaha mereka tergerus untuk menutupi biaya hidup selama masa pandemi. Setelah jatuh bangkrut, mereka sulit bangkit kembali sebab modal usaha sudah habis.
Dampaknya, jumlah pengangguran dan orang miskin terus bertambah. Namun, di sisi lain, pandemi Covid 19 ini, juga menjadi berkah bagi segelintir orang. Ada anomali yang muncul. Segelintir orang yang punya akses politik dan kekuasaan, justru sekejap bisa meraup untung hingga mencapai puluhan triliun, meskipun pertumbuhan ekonomi jatuh ke titik nol persen.
Sindiran si Raja Dangdut, Rhoma Irama, pada era 1980-an, terasa sangat pas diucapkan dalam situasi kini: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Tak bisa lagi dibendung, kemiskinan akan terus meningkat di atas angka 10 persen. Artinya, jumlah orang miskin di negeri ini, bisa mencapai angka statistik hingga puluhan juta orang.
Bayangkan, jika puluhan juta orang jatuh miskin dan hidup susah, sadar atau tidak, ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi NKRI. Kesenjangan sosial yang terjadi bisa menjadi pemicu terjadinya revolusi sosial dalam arti yang sebenarnya. Rakyat bisa saja melakukan aksi anarkis karena menuntut keadilan sosial dan perubahan!
Pandemi yang tak kunjung usai ini, juga bisa berdampak pada tingginya suhu politik. Politisi mulai digoyang dan dianggap gagal mengurus negara. Prilaku korup penyelenggara negara, turut memicu terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial yang berpotensi anarkis.
Wacana Hukum Mati Koruptor
Sebagai aktivis pegiat anti korupsi, saya sangat sependapat dengan gagasan awal Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, di awal masa pandemi, bulan Maret 2020, lalu. Firli mengeluarkan ancaman, jika ada aparat negara yang melakukan korupsi dana bantuan sosial di tengah pandemi, maka KPK akan memberlakukan tuntutan hukuman mati.
Wacana hukuman mati bagi koruptor di tengah pandemi Covid 19, pun mencuat. Meskipun hanya sebatas wacana belaka, tentu secara tersirat, Firli menginginkan agar para penyelenggara negara dan pemangku kebjikan publikr tidak menyalahgunakan kewenangannya dalam mengurus negara di masa pandemi Covid-19.
Tetapi, bangsa Melayu, bukan bangsa yang mudah percaya pada ancaman. Justeru mereka mudah menyimpulkan sebuah ancaman menjadi sebuah tantangan. Sehingga, tak heran jika bangsa Melayu, termasuk Indonesia, dikenal sebagai bangsa yang nekat! Bangsa kita sudah membuktikan strategi nekat itu di zaman penjajahan Belanda. Senapan otomatis dan senjata mesin, dihadapi dengan bambu runcing dan kalewang! Semboyan Merdeka atau Mati, benar-benar terpatri di dalam jiwa bangsa Indonesia.
Nah. Sejumlah pejabat, juga nekat tapi bukan di medan perjuangan seperti para pahlawan kita. Mereka nekat melakukan korupsi, meskipun penjara dan hukuman mati menjadi ancaman. Ironisnya pula, lapas Sukamiskin, tempat penampungan koruptor yang dibina oleh negara itu, pun dianggap sebagai: surga nyata bagi koruptor.
Sebuah Solusi
Tingkat kemiskinan selama pandemi, akan terus meningkat, menyiratkan jutaan orang akan menjadi miskin. Proyeksi terburuk ini, mengakibatkan kemajuan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan selama satu dekade terakhir, terancam sia-sia.
Implikasinya adalah bahwa Indonesia perlu menempuh solusi. Pertama, memperluas program perlindungan sosialnya untuk membantu kaum miskin, baik yang baru maupun yang telah ada sebelumnya, agar mereka yang jatuh miskin bisa bangkit kembali.
Kedua, melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi secara tegas dengan melibatkan partisipasi masyarakat melaporkan jika menemukan kasus korupsi di era pandemi. Mencegah dan memberantas korupsi di masa pandemi ini sangat penting, selain menyelamatkan uang negara, juga memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat mencegah pikiran nekat melakukan revolusi setelah negara mengalami krisis multidimensi.
Ketiga, dalam situasi seperti ini, dibutuhkan ketenangan dalam merumuskan kebijakan dan program agar wabah ini usai dan segera berlalu. Bukan justru mengambil kesempatan untuk mengais keuntungan di tengah orang-orang yang sedang dilanda krisis. Bukannya memberi manfaat, tapi lebih mengutamakan naluri bisnis: yang penting aku dapat untung, masa bodoh ente yang rugi.
Jika ada pemimpin kita berpikir seperti itu, menjadikan urusan mengatasi wabah dengan pendekatan B to B (bisnis ke bisnis), mudah ditebak: pandemi ini tak kunjung usai, malah akan terus dipelihara, sebab wabah corona dianggap bukan lagi penyakit, tapi komoditas dagang bagi segelintir pemangku kebijakan.
Akhirnya, tanpa disadari, bibit korupsi tertanam di alam bawah sadar para pemimpin lalu tumbuh subur menjadi butir-butir kebijakan yang menyesatkan. Inilah yang harus diubah sekarang. Memupuk kembali rasa keadilan sosial dan negara hadir di tengah krisis.
Kita semua harus mengingatkan. Bangsa ini adalah bangsa besar yang didirikan para founding father untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai janji konstitusi: mewujudkan masyarakat adil dan makmur. wallahu’alam bishawab