Kisah Managing Directur IMF Michael Camdessus bersedekap tegak saat Presiden Soeharto membungkuk menanda tangani MOU yang berisi rekomendasi IMF kepada pemerintah yang membuat Indonesia didikte dan dililit hutang. Di masa SBY, IMF bertekuk lutus dan hengkan dari Indonesia karena Indonesia melunasi semua hutangnya dan memutus kerjasama dengan IMF. (Ist)
Oleh Muhammad Asrul Nurdin, S.Pd (Peneliti Yayasan Lembaga Kajian Pembangunan)
menitindonesia – NEGARA Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar nikel di dunia dan memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah. Untuk mengoptimalkan potensi nikel tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah dalam kebijakan hilirisasi nikel, yaitu meningkatkan nilai tambah produk nikel melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Peneliti LKP, Muhammad Asrul Nurdin. (ist)
Namun, International Monetary Fund (IMF) telah memberikan saran agar pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan hilirisasi nikel tersebut. Permintaan itu dituangkan dalam dokumen IMF Executive Board Conculudes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.
Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya kebijakan hilirasasi nikel ini sehingga IMF memberikan catatan khusus terkait kebijakan tersebut. Di sini saya ingin menyampaikan kajian terhadap saran IMF yang menjadi sorotan publik ini.
Dampak terhadap Ekonomi
Salah satu alasan utama yang menjadi pertimbangan IMF adalah dampak kebijakan hilirisasi nikel terhadap ekonomi Indonesia. Meskipun tujuan utama hilirisasi adalah meningkatkan nilai tambah produk nikel, namun IMF menyatakan bahwa kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengolahan nikel membutuhkan investasi yang besar dan cenderung mengalami kerugian pada tahap awal produksi. Hal ini dapat mengurangi daya saing industri nikel Indonesia di pasar internasional dan menurunkan penerimaan devisa negara.
Keterbatasan Infrastruktur dan Teknologi
IMF juga menyoroti keterbatasan infrastruktur dan teknologi yang dimiliki Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan hilirisasi nikel. Pengolahan dan pemurnian nikel memerlukan fasilitas dan teknologi canggih yang tidak sepenuhnya tersedia di Indonesia. Tanpa adanya investasi yang signifikan dalam infrastruktur dan peningkatan teknologi, kebijakan hilirisasi nikel cenderung mengalami kendala dalam hal efisiensi produksi dan kualitas produk.
Ketidakpastian Pasar dan Permintaan
Ketidakpastian pasar dan permintaan juga menjadi perhatian IMF terkait kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia. Pasar nikel internasional cenderung fluktuatif, terutama dipengaruhi oleh permintaan dari industri baja. IMF berpendapat bahwa fokus Indonesia pada hilirisasi nikel dapat membuat negara ini lebih rentan terhadap perubahan kondisi pasar global.
Apabila terjadi penurunan tajam dalam permintaan nikel atau terjadi ketidakstabilan harga, Indonesia dapat menghadapi kesulitan dalam menjaga keberlanjutan industri pengolahan nikel.
Diversifikasi Ekonomi
IMF mendorong pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan diversifikasi ekonomi sebagai alternatif kebijakan yang lebih berkelanjutan. Mengandalkan sektor nikel secara berlebihan dapat menyebabkan kerentanan ekonomi yang tinggi jika terjadi gangguan dalam industri ini.
IMF menyarankan agar Indonesia melihat peluang di sektor lain dan mendorong investasi pada industri-industri berbasis teknologi, manufaktur, pariwisata, dan jasa. Diversifikasi ekonomi akan membantu menciptakan lapangan kerja yang lebih beragam dan meningkatkan ketahananan ekonomi.
Anomali Saran IMF
Anomali saran IMF tersebut kepada pemerintah, didukung ekonom liberal dari Ekonomi institute for Demographic and Proverti Studies (Ideas) Yusuf Wibisono, mengatakan kebijakan hilirisasi pemerintah sangat bergantung pada negara asing. Menurutnya, kebijakan ini minim konstribusinya terhadap pendapatan negara dan tidak banyak berkonstribusi pada pendalaman struktur industri. Di sini Yusuf “membebek” pada saran IMF tanpa mengkaji lebih dalam kebijakan pemerintah yang penuh rasa nasionalisme itu.
Hilirisasi adalah penghilran berupa proses atau cara untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap hilirisasi di sektor mineral dan batubara (minerba) telah tertuang secara resmi dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
UU nomor 3 tahun 2020 ini, mewajibkan hilirisasi dalam industri pertambangan. Tujuan dibuatnya UU tersebut, pemerintah menginginkan adanya nilai tambah dari hasil tambang terhadap pendapatan negara dari sektor minerba, termasuk nikel.
Salah satu proses untuk menapatkan nilai tambah bijih nikel yang berkadar rendah adalah dengan proses hidrometalurgi, yaitu mengolah bijih nikel dari kadar rendah menjadi logam nikel murni. Sehingga, asumsi pemerintah bahwa kebijakan hilirisasi ini akan memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Kebijakan hilirisasi juga dinilai bisa menjaga stabilitas harga bijih nikel dari ancaman gejolak harga yang tidak menentu.
Lantas mengapa IMF cawe-cawe meminta kebijakan yang dinilai bermanfaat bagi negara itu justru harus dihentikan? Apakah saran IMF ini harus diabaikan atau pemerintah memilih tetap istiqamah mempertahankan kebijakan hilirisasi.
Untuk diketahui, sesungguhnya Indonesia adalah negara berdaulat. Tak hanya itu, pemerintah juga tidak sedang tergantung hutang dengan IMF. Sejak jama SBY, arogansi IMF diakhiri setelah pemerintah melunasi seluruh hutang ke IMF. Mungkin IMF lupa, bahwa Presiden Indonesia sekarang bernama Joko Widodo, bukan lagi presiden Soeharto yang rapuh di akhir masa jabatannya sehingga mudah didikte atas nama penyelamatan ekonomi dari krisis yang bisa berdampak pada runtuhnya rezim. (*)