menitindonesia, JAKARTA – Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi atau dikenal sebagai Corruption Investigation Office (CIO) di Korea Selatan merupakan lembaga independen yang bertugas menyelidiki dan mengadili kejahatan yang melibatkan pejabat tinggi negara serta keluarga langsung mereka. Lembaga ini memiliki yurisdiksi atas sekitar 6.500 pejabat tinggi, termasuk anggota parlemen, jaksa, hakim, dan bahkan Presiden, baik yang sedang menjabat maupun mantan pejabat.
CIO dibentuk sebagai bagian dari reformasi hukum untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di tingkat pemerintahan tertinggi. Fokus utamanya adalah menangani kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
BACA JUGA:
Taruna Ikrar Raih Penghargaan Ilmuwan Berpengaruh, Soroti Ancaman Resistensi Antimikroba
Meski demikian, kewenangan CIO dibatasi pada tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang. Kasus di luar kewenangannya, seperti pelecehan seksual, diserahkan kepada Kejaksaan Agung Korea Selatan untuk diselidiki dan diadili.
Perbandingan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia
Sebagai lembaga yang memiliki misi serupa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia juga berfokus pada pemberantasan korupsi di kalangan pejabat negara. Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara CIO dan KPK:
Kewenangan dan Fokus Kasus
CIO Korea Selatan mengkhususkan diri pada penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi serta kejahatan serius lain yang melibatkan pejabat tinggi dan keluarganya. Yurisdiksi CIO lebih selektif dan berfokus pada jabatan-jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan.
BACA JUGA:
Erick Thohir diisukan Depak Shin Tae-yong di Timnas, Penggantinya dari Eropa
KPK Indonesia memiliki cakupan yang lebih luas dan dapat menangani semua tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat publik tanpa batasan jabatan tertentu. Selain penyelidikan dan penuntutan, KPK juga memiliki fungsi pencegahan dan koordinasi dengan lembaga lain.
Independensi Lembaga
CIO didirikan dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada Kejaksaan Agung, yang sebelumnya memiliki kewenangan mutlak dalam investigasi. CIO beroperasi secara independen tetapi tetap harus bekerja sama dengan kejaksaan untuk kasus di luar yurisdiksinya.
KPK merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan penuh dari penyelidikan hingga eksekusi, termasuk menyadap, membekukan aset, dan melakukan operasi tangkap tangan (OTT). KPK tidak bergantung pada lembaga lain untuk menyelesaikan kasusnya.
Objek Investigasi
CIO fokus pada korupsi pejabat tinggi dan keluarganya. Lembaga ini bertujuan menindak kejahatan di tingkat elite untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
KPK menangani seluruh lapisan pemerintahan tanpa batasan jabatan, termasuk aparat desa, kepala daerah, dan sektor swasta yang terlibat dalam praktik korupsi.
Kewenangan Operasional
CIO terbatas pada penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sudah ditentukan. Kasus di luar ketentuan tersebut harus dialihkan ke lembaga lain seperti Kejaksaan Agung.
KPK memiliki kewenangan yang lebih fleksibel untuk menyelidiki berbagai jenis kejahatan yang berkaitan dengan korupsi, termasuk pencucian uang dan penyalahgunaan wewenang.
Sistem Perekrutan dan Pengawasan
CIO dipimpin oleh seorang Kepala yang dipilih melalui persetujuan parlemen dan harus memenuhi kriteria ketat untuk memastikan independensi dan kredibilitasnya.
KPK dipimpin oleh lima komisioner yang dipilih melalui uji kelayakan oleh DPR dan Presiden, dengan pengawasan publik melalui Dewan Pengawas KPK.
Evaluasi Efektivitas
CIO dinilai sebagai langkah maju dalam reformasi hukum di Korea Selatan karena memberikan alternatif independen untuk menangani korupsi tingkat tinggi, yang sebelumnya sulit disentuh. Namun, kewenangan terbatasnya sering dikritik karena kurang fleksibel dalam menangani berbagai kejahatan yang berkaitan dengan korupsi.
Sebaliknya, KPK Indonesia diakui memiliki pendekatan yang lebih proaktif dengan kewenangan luas yang mencakup semua tingkatan birokrasi. Meski demikian, tantangan KPK terletak pada tekanan politik dan isu independensi yang belakangan menjadi sorotan setelah revisi undang-undang KPK pada tahun 2019.
Baik CIO Korea Selatan maupun KPK Indonesia memiliki peran strategis dalam memberantas korupsi, namun dengan pendekatan yang berbeda. CIO menargetkan elite pejabat tinggi dengan kewenangan terbatas, sementara KPK memiliki cakupan yang lebih luas dengan kewenangan penuh untuk memberantas korupsi di semua tingkat pemerintahan.
Kedua model ini mencerminkan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi hukum dan politik di masing-masing negara. Keberhasilan mereka dalam melawan korupsi bergantung pada independensi, transparansi, serta dukungan politik dan publik yang berkelanjutan.
(andi ade zakaria – sumber wikipedia)