menitindonesia, JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa pengungkapan kasus pengoplosan BBM jenis Pertamax dengan Pertalite yang diusut Kejaksaan Agung terjadi karena dukungan dari Presiden Prabowo Subianto.
BACA JUGA:
Gelombang PHK 2025! Buruh Ancam Demo ke Istana Tuntut Hak dan Selamatkan Industri Nasional
“Sekarang situasinya lebih kondusif, pemerintahnya mau membuka. Jaksa Agung tidak dihalangi, akhirnya kasus ini bisa dibongkar. Sejak dulu sebenarnya bisa, kalau presidennya mau,” ujar Mahfud saat ceramah Kajian Ramadan di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (1/3/2025).
Respons Mahfud MD soal Skandal BBM
Dalam forum tersebut, Mahfud mendapat pertanyaan dari jamaah yang didominasi mahasiswa UGM. Salah satunya menanyakan kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina, yang kemudian menyeret isu pengoplosan Pertamax dengan Pertalite.
BACA JUGA:
Erick Thohir Ungkap Langkah Penyelamatan Pertamina dari Skandal Korupsi
Mahfud menjawab satu per satu pertanyaan dari jamaah, meskipun ia mengaku enggan berbicara politik di dalam masjid.
“Kalau saya bicara politik, nanti ada yang bilang, ‘Dasar orang kalah Pilpres’, atau ‘Itu suara kelompok 16 persen’,” kata Mahfud, yang sebelumnya merupakan calon wakil presiden pada Pemilu 2024.
Namun, ia tetap menegaskan keyakinannya bahwa kasus korupsi di Pertamina, termasuk praktik oplosan BBM, memang benar terjadi.
“Saya yakin itu betul. Kalau Pertamax dioplos dengan Pertalite, itu merupakan kejahatan,” tegasnya.
Dugaan Kerugian Negara Rp 960 Triliun
Mahfud juga mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung dalam membongkar skandal ini hingga berhasil menangkap sejumlah petinggi Pertamina yang diduga terlibat.
Meski petinggi Pertamina dan beberapa pejabat, termasuk Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, membantah tuduhan oplosan dengan alasan yang terjadi adalah proses blending, Mahfud menilai Kejaksaan Agung sudah memiliki bukti yang kuat.
“Jangan anggap Jaksa Agung tidak tahu perbedaan antara oplosan dan blending. Mereka pintar-pintar. Mereka pasti sudah punya dua alat bukti yang cukup,” ungkapnya.
Menurut Mahfud, Kejaksaan Agung telah menghitung potensi kerugian negara akibat praktik oplosan BBM ini mencapai Rp 193 triliun per tahun atau Rp 960 triliun dalam lima tahun terakhir.
Mafia Minyak Sudah Ada Sejak Orde Baru
Mahfud mengungkap bahwa praktik mafia minyak bukanlah hal baru di Indonesia. Menurutnya, kejahatan ini sudah terjadi sejak era Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
“Zaman Orde Baru ada tiga sektor besar yang dikorupsi: perpajakan, perminyakan atau pertambangan, dan pertanahan,” jelasnya.
Ia berharap pengusutan kasus korupsi di tubuh Pertamina bisa dituntaskan tanpa ada intervensi dari pihak mana pun, terutama dari kalangan aparat pemerintah. “Jadi kita tunggu perkembangan kasus ini. Semoga tidak dihambat,” pungkasnya. (akbar endra)