Narasi Pembangunan Infrastruktur Yang Berjiwa ala Dody Hanggodo

Akbar Endra, adalah Jurnalis Menit Indonesia, tinggal di Jakarta
Oleh: Akbar Endra
(Jurnalis Menit Indonesia)
  • Pembangunan infrastruktur bukan soal beton semata. Ia adalah wajah negara, arah peradaban, dan harapan rakyat. Ketika jalan dibuka dan air dialirkan, di situlah negara benar-benar hadir.
menitIndonesia – INFRASTRUKTUR sering dipahami sebagai proyek fisik—bangunan, jalan, jembatan, bendungan. Tapi jika kita berhenti di sana, maka kita kehilangan makna terdalam dari pembangunan itu sendiri. Sebab, di balik setiap proyek infrastruktur, ada pesan politik, ada bahasa kekuasaan, dan ada arah peradaban yang sedang dibangun.
BACA JUGA:
Presiden Prabowo Resmikan Bali International Hospital, Kepala BPOM Taruna Ikrar Buka Jalur Khusus Obat Global
Negara tidak hanya hadir lewat kebijakan. Ia hadir secara nyata ketika jalan-jalan dibuka, air bersih dialirkan, dan rumah layak huni dibangun untuk rakyat kecil. Di situlah infrastruktur tak lagi bicara tentang beton, tapi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang menghidupi republik ini.

Bukan Proyek, Tapi Harapan

Infrastruktur bukan cuma bangunan. Ia adalah jembatan harapan. Ketika jembatan gantung dibangun di pelosok Tompobulu, Maros, Sulsel — yang dulu membuat anak-anak sekolah harus berenang di sungai demi belajar — itu bukan proyek biasa. Itu penyambung nyawa. Penyambung masa depan.
BACA JUGA:
Taruna Ikrar dan Gerakan Cinta Bumi: Dari Denpasar, Sehelai Daun Ditumbuhkan Menjadi Harapan Bangsa
Begitu pula jalan desa di pegunungan Papua yang dulu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki selama 7–10 jam. Setelah dibuka akses daratnya oleh Kementerian PU (dulu PUPR), harga kebutuhan pokok turun drastis, warga bisa jual hasil panen, dan yang lebih penting: mereka merasa bagian dari Indonesia.
Infrastruktur seperti itu menyentuh rakyat. Ia menghadirkan keadilan spasial. Ia menyalakan rasa dimiliki oleh negara.

Membangun Peradaban dari Pinggiran

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo saat ini, pembangunan tidak lagi berpusat di kota besar. Fokusnya adalah membangun dari pinggiran. Pola ini bukan hanya strategi ekonomi, tapi pilihan politik yang sangat ideologis: memberi ruang bagi mereka yang selama ini tertinggal.
Contoh yang bisa kita lihat: Pertama, Jalan Trans Papua dibuka bukan karena keperluan bisnis, tapi karena rakyat di pegunungan butuh akses pendidikan dan kesehatan.
Kedua, SPAM Umbulan di Jawa Timur bukan hanya proyek air bersih, tapi perlindungan hak dasar warga negara atas air yang layak.
Ketiga, Pembangunan rumah khusus nelayan dan masyarakat adat menunjukkan bahwa negara peduli pada komunitas marjinal.
Semua ini memperlihatkan bahwa pembangunan infrastruktur bisa — dan harus — berjiwa.

Siapa yang Kita Bangun, dan Untuk Siapa?

Tantangan terbesar pembangunan hari ini bukan pada teknis lapangan, tapi bagaimana menjelaskan ke publik bahwa negara tidak sedang membangun “untuk proyek”, tapi untuk manusia.
Narasi menjadi penting. Sebab, rakyat tidak bisa mencintai proyek yang tak mereka mengerti. Rakyat tak akan merasa dilibatkan jika narasi pembangunan bersifat teknokratik dan dingin.
Karena itu, komunikasi publik harus diperkuat: Setiap proyek harus punya cerita manusia di dalamnya. Perjalanan pembangunan harus diceritakan dalam bahasa rakyat. Menteri dan pejabat harus hadir di ruang publik bukan hanya dalam angka, tapi dalam emosi dan makna.
IMG 20250603 WA0009 11zon e1748941247722
Menteri PU Dody Hanggodo tampil dengan pendekatan yang tenang, sistimatis dan penuh keberpihakan kepada rakyat.
Narasi Pembangunan ala Dody Hanggodo
Dalam politik, infrastruktur adalah cara negara bicara: Jika negara membangun, itu berarti negara hadir. Tapi jika pembangunan hanya dirasakan elite, maka negara terasa menjauh.
Maka tugas kementerian teknis seperti PU bukan hanya menyelesaikan pekerjaan, tapi juga memastikan rakyat merasa tersentuh, dilibatkan, dan dihargai.
Kita sedang tidak membangun jalan. Kita sedang membuka gerbang keadilan. Kita tidak sedang mencetak beton, tapi sedang memahat arah bangsa. Dan, inilah yang kita lihat dan sedang diupayakan Menteri PU Dody Hanggodo.
Yang menarik, Dody Hanggodo juga mulai memberi roh baru pada infrastruktur: menjadikannya alat transformasi sosial, bukan pencapaian teknis semata. Kerja-kerja konkret kementerian PU saat ini, bisa kita baca dari respons publik: program-program yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, seperti pembangunan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) — yang merupakan program andalan Presiden Prabowo — meski terkesan tidak elitis tapi solutif, berjalan massif di seluruh Indonesia.
Narasi pembangunan ala Dody Hanggodo ini perlu disampaikan ke publik. Bukan untuk pencitraan, tapi agar rakyat tahu: bahwa negara tidak tinggal diam. Bahwa menteri tidak sekadar membuat peta jalan, tapi benar-benar turun ke jalan. Bahwa di balik bendungan dan jalan tol, ada kebijakan yang dirancang untuk mengubah hidup orang banyak.
Dari Beton ke Nurani
Pembangunan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat menyelesaikan proyek. Tapi siapa yang paling mampu mengubah hidup rakyat lewat pembangunan itu. Maka, setiap kilometer jalan harus diukur bukan hanya dengan anggaran, tapi dengan jumlah nasib yang berubah.
Dalam setiap proyek infrastruktur, seharusnya ada satu pertanyaan yang selalu diajukan: “Apakah yang kita bangun ini akan membuat rakyat merasa dimiliki negara?”
Jika jawabannya ya, maka kita bukan sedang membangun jalan. Kita sedang membangun Indonesia. (*)