Penulis adalah Jurnalis Menit Indonesia, bertugas di Jakarta. (ist)
Oleh: Akbar Endra (Penulis adalah Jurnalis)
menitindonesia.com – Pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Prabowo Subianto, jika benar-benar terjadi dan berujung pada koalisi baru, bisa menjadi titik balik konstelasi kekuasaan nasional. Namun di balik narasi rekonsiliasi, ada harga demokrasi yang perlu dihitung.
Harmoni Elite, Kemenangan Prabowo
Pasca Idulfitri 1446 Hijriah, gestur Prabowo Subianto terlihat berbeda. Ia tampak lebih rileks, sumringah, dan penuh percaya diri dalam beberapa agenda publik. Sikap ini diyakini sebagai cerminan dari terbangunnya komunikasi politik yang harmonis dengan Megawati Soekarnoputri.
Sinyal-sinyal politik itu menguat menyusul kunjungan Didit Prabowo ke kediaman Megawati dan kabar pertemuan lanjutan di Teuku Umar yang ramai dibicarakan di kalangan elite.
Jika akhirnya PDIP benar-benar bergabung dalam koalisi pemerintahan, maka Prabowo memenangkan dua hal sekaligus: dukungan politik formal dari mantan oposisi utama dan penguatan legitimasi sebagai pemimpin nasional.
Koalisi pemerintah akan menjadi sangat gemuk. Praktis, tidak ada kekuatan tandingan yang berarti di parlemen. Ini bukan sekadar rekonsiliasi pascapemilu, tetapi konsolidasi kekuasaan yang kokoh dan strategis.
Reshuffle dan Jalur Akomodasi Politik
Bersatunya dua kekuatan besar ini hampir pasti akan diikuti dengan perombakan kabinet (reshuffle) dan reposisi jabatan strategis, baik di lembaga negara maupun badan usaha milik negara (BUMN).
Akomodasi terhadap elite PDIP bukan sekadar simbolik. Ini akan diwujudkan dalam bentuk jabatan menteri, kursi komisaris utama, hingga ruang pengaruh di level kebijakan.
Bagi PDIP, langkah ini menjadi jalan untuk tetap relevan pascakekalahan Pilpres 2024. Bagi Prabowo, ini adalah strategi cerdas untuk meredam potensi tekanan politik dari luar sistem. Namun, publik tetap perlu waspada.
Demokrasi yang terlalu stabil tanpa kontrol, bisa berbalik arah menjadi stagnasi kekuasaan. Risiko pembungkaman kritik, lemahnya oposisi, dan potensi oligarki justru semakin terbuka.
Refleksi: Demokrasi Tanpa Oposisi
Dalam bukunya The Spirit of Democracy, ilmuwan politik dari Stanford University, Larry Diamond, menulis:
“When opposition is neutralized, democracy loses its soul. Without scrutiny, power becomes comfortable, and comfort breeds corruption.” (Ketika oposisi dinetralkan, demokrasi kehilangan jiwanya. Tanpa pengawasan, kekuasaan menjadi nyaman, dan kenyamanan melahirkan korupsi.)
Pernyataan itu menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa demokrasi yang sehat bukan hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang berani mengoreksi kekuasaan.
Koalisi besar memang bisa memberi stabilitas. Tapi tanpa ruang kritik yang cukup, stabilitas itu bisa menjelma menjadi dominasi yang tak tersentuh. Dan ketika kekuasaan kehilangan lawan tandingnya, rakyatlah yang akhirnya harus membayar harganya.