Heatstroke Mengintai Jemaah: Taruna Ikrar Ungkap 3 Ancaman Besar Jelang Wukuf

Amiru Haj Indonesia 2025
  • Menjelang wukuf di Arafah, Prof. Taruna Ikrar ungkap 3 ancaman kesehatan haji 2025: suhu ekstrem, jemaah lansia, dan minimnya tenaga medis. Promkes jadi kunci lindungi 221 ribu jemaah RI.
menitindonesia, MAKKAH — Hari itu, panas Makkah terasa menyengat. Suhu udara hampir menyentuh 45 derajat Celsius, dan langit tak memberi tanda akan mengalah. Di tengah hiruk-pikuk persiapan ibadah puncak haji, seorang pria bersorban putih dan berwajah teduh berjalan masuk ke Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI). Ia bukan jemaah biasa, tapi salah satu ujung tombak pelindung nyawa ribuan jemaah Indonesia: Prof. Taruna Ikrar, anggota Amirul Hajj 2025 bidang kesehatan.
BACA JUGA:
Rudianto Lallo: Kapolri Listyo Sigit Berhasil Angkat Wibawa Polri Lewat Satgas Antipremanisme!
Taruna datang dengan misi penting. Amanah dari Menteri Agama yang juga Amirul Hajj, Nasaruddin Umar, telah menggariskan satu tanggung jawab besar di pundaknya: menjaga kesehatan lebih dari 221 ribu jemaah Indonesia yang kini menapak tanah suci. Jumlah itu bukan main-main. “Sekitar 25 persen dari seluruh jemaah dunia adalah dari Indonesia,” katanya. Sebuah angka yang mencerminkan kekuatan, sekaligus kerentanan.

Tiga Ancaman Utama: Panas, Lansia, dan Regulasi Baru

Dalam diskusi yang berlangsung hangat namun serius, Taruna menggarisbawahi tiga tantangan utama penyelenggaraan kesehatan haji tahun ini.
Pertama, suhu ekstrem yang bisa mencapai 50°C di puncak musim haji. Bagi jemaah lansia—yang jumlahnya hampir 50 persen dari total jemaah Indonesia—panas bukan sekadar rasa tak nyaman, tapi ancaman nyawa. Risiko dehidrasi dan heatstroke mengintai setiap langkah mereka di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Kedua, struktur demografi jemaah Indonesia tahun ini didominasi usia tua. Lansia membawa serta komorbid—darah tinggi, diabetes, hingga penyakit jantung—yang bisa aktif kapan saja.
Ketiga, perubahan kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi berdampak pada sistem pelayanan kesehatan. Ini menciptakan tantangan tambahan, terutama dalam hal koordinasi dan standar prosedur layanan.
Taruna mencatat, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia masih jauh dari ideal. “Idealnya ada lebih dari 2.000 tenaga medis untuk 221 ribu jemaah. Saat ini baru tersedia sekitar 1.050 orang,” ungkapnya. Mereka terdiri dari dokter, perawat, hingga tenaga non-medis pendukung. Semangat luar biasa mereka tak terbantahkan, tapi angka tak pernah bisa dibohongi.

Senjata Terakhir di Tengah Keterbatasan

Dengan segala keterbatasan, Taruna menekankan satu strategi yang harus dimaksimalkan: promosi kesehatan (promkes) dan pendampingan aktif jemaah.
“Petugas kesehatan harus intensif menyosialisasikan informasi kesehatan kepada jemaah, terutama yang lansia. Edukasi dan pendampingan medis bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” tegasnya. Ia mengingatkan, kondisi padat dan panas di Arafah serta Mina bisa menjadi medan kritis bagi jemaah dengan daya tahan lemah.
BACA JUGA:
Anak-anak Kembali Mengaji: TNI Rehab TPA Rusak di Dumai Jadi Tempat Belajar yang Layak
Kunjungan Taruna ke KKHI juga menjadi momen mendengarkan. Diskusi santai dipandu oleh dr. Wachyudi Muchsin berubah menjadi forum curhat terbuka para dokter dan perawat di lapangan. Di hadapan Dirjen Kesehatan Haji dan Direktur Layanan Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI, mereka bicara tentang kelelahan, keterbatasan logistik, dan kebutuhan dukungan psikologis—bukan hanya untuk jemaah, tapi juga untuk para petugas.

Melindungi Ibadah Lewat Kesehatan

Di balik ritual sakral wukuf, tawaf, dan lempar jumrah, ada perang senyap yang tak kalah penting: menjaga tubuh agar tetap bugar untuk menuntaskan ibadah. Di medan panas dan padat, kesehatan adalah fondasi ibadah. Dan di tengah jutaan manusia dari segala penjuru bumi, para petugas kesehatan Indonesia hadir sebagai garda depan—diam-diam bekerja, senyap namun vital.
Prof. Taruna Ikrar, dengan latar belakang sebagai Kepala BPOM RI, tak hanya membawa ilmu, tapi juga nurani. Ia memahami bahwa ibadah yang khusyuk hanya bisa diraih bila raga tetap tegak.
Dan untuk itu, kerja keras semua pihak dibutuhkan. Dari promkes yang digalakkan sejak keberangkatan, hingga pertolongan medis darurat di detik genting. Di tanah suci, di tengah suhu yang membakar, kesehatan adalah ibadah tersendiri.
(akbar endra)