Kejagung mengungkap bahwa Jamdatun telah merekomendasikan penggunaan laptop Windows dalam proyek Kemendikbud, bukan Chromebook. Rekomendasi itu ternyata tidak diikuti. Apa yang sebenarnya terjadi?
menitindonesia, JAKARTA – Polemik pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terus bergulir. Setelah mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim menyebut proyek tersebut didampingi oleh Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), giliran pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memberikan klarifikasi penting.
Bertempat di Lobi Gedung Bundar Jampidsus, Jakarta, pada Selasa (10/6/2025), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa sejak awal, pendampingan Jamdatun sudah dilakukan dalam bentuk pemberian rekomendasi hukum. Namun, Harli menyayangkan bahwa tidak semua masukan tersebut dijalankan oleh pihak Kemendikbud Ristek.
“Sejak awal, jajaran Jaksa Pengacara Negara (JPN) telah menyampaikan agar pengadaan laptop mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Harli.
Karikatur kasus pengadaan laptop chromebook
Rekomendasi Bukan Chromebook, Tapi Windows
Salah satu rekomendasi krusial yang sempat disampaikan oleh tim Jamdatun adalah penggunaan sistem operasi Windows, bukan Chromebook. Rekomendasi ini, menurut Harli, didasarkan atas kajian teknis serta pertimbangan kebutuhan dasar penggunaan laptop di lingkungan pendidikan nasional.
“Tim teknis dari awal merekomendasikan sistem berbasis Windows untuk pemanfaatan yang lebih luas dan sesuai dengan kebutuhan pengguna,” ujarnya.
Namun, dalam praktiknya, Kemendikbud Ristek justru memutuskan melakukan pengadaan massal laptop berbasis Chromebook. Inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar di publik—terlebih saat muncul dugaan adanya penyimpangan spesifikasi dan potensi kerugian negara.
Pendampingan Hukum Tak Bersifat Mengikat
Menjawab tudingan bahwa Jamdatun seolah melegitimasi pengadaan yang kini disorot itu, Harli menegaskan bahwa pendampingan hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara tidak bersifat mengikat.
“Rekomendasi kami adalah pendapat hukum. Apakah dilaksanakan atau tidak, itu kembali kepada instansi pemohon,” kata Harli.
Artinya, meski Kejagung telah memberi panduan hukum, keputusan akhir tetap berada di tangan Kemendikbud Ristek.
Pernyataan Nadiem Dinilai Tidak Tepat
Sebelumnya, dalam konferensi pers yang berlangsung pada hari yang sama, Nadiem Makarim menekankan bahwa pihaknya sejak awal telah mengundang Jamdatun untuk mendampingi proses pengadaan agar berjalan sesuai aturan dan bebas dari konflik kepentingan.
“Kami mengundang kejaksaan agar semua berjalan aman dan sesuai regulasi,” kata Nadiem saat itu.
Namun, pernyataan ini seolah bertentangan dengan fakta yang diungkap Kejagung, bahwa rekomendasi penting mereka tidak diikuti oleh pihak kementerian.
Sinyal Ada yang Tersembunyi?
Situasi ini pun menimbulkan spekulasi. Apakah terjadi pembelokan arah keputusan meski sudah ada arahan hukum dari kejaksaan? Apakah ada pihak yang bertanggung jawab atas pengabaian tersebut?
Sementara kasus ini masih terus dikembangkan dan sejumlah pihak, termasuk mantan staf khusus Mendikbud, mulai diperiksa, publik menanti kejelasan: apakah pengadaan yang menelan anggaran triliunan rupiah ini benar-benar transparan, atau justru menyimpan skandal di dalamnya?