Kasus Korupsi – Dugaan korupsi Alat Kesehatan di RSUD Pandjonga Dang Ngalle Kabupaten Takalar, mulai diendus. Berawal dari temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Nilai asset Alkes yang diduga fiktif mencapai Rp 33,5 miliar. Kepala Kejaksaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Firdaus Dewilmar, perintahkan Kejari Takalar mengusutnya.
menitindonesia.com, TAKALAR – Meskipun Kejaksaan Tinggi Sulsel belum menerima laporan terkait dugaan korupsi asset Alkes di RSUD Haji Pandjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar, Kajati Firdaus Dewilmar, tetap akan melakukan koordinasi kepada Kejari Takalar untuk mengendus dugaan korupsi asset Alkes, tersebut.
“Belum saya terima laporannya, Intinya, kita nanti akan koordinasi dengan Kejari Takalar untuk mengecek itu,” kata Firdaus Dewilmar.
Persoalan aset Alkes di RSUD Padjonga ini, mengemuka saat BPK RI melakukan audit terhadap laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Takalar Tahun Anggaran 2017.
Dalam laporannya, BPK mempertanyakan jumlah aset di RSUD Padjonga, di mana dalam pemeriksaan fisik, BPK hanya menemukan 152 unit dari 827 unit aset yang dirincikan oleh pihak rumah sakit.
Mantan Direktur Rumah Sakit RSUD Haji Padjonga Dg Ngale, Nilal Fauziah bilang temuan BPK itu merupakan total akumulasi aset dari didirikan rumah sakit hingga dirinya menjabat sebagai direktur Rumah Sakit.
Nilal mengaku telah menindak lanjuti temuan BPK tersebut, dan telah menemukan aset aset yang dimaksud.
Namun sayangnya, Nilal enggan untuk menjawab terkait aset alat kesehatan yang disodorkan kepada BPK yang tidak diyakini kewajarannya.
Memang pihak Rumah Sakit telah menindak lanjuti temuan BPK itu. Setidaknya, dalam LHP BPK untuk pemeriksaan keuangan pemkab Takalar tahun 2018 Direktur Rumah Sakit telah mengeluarkan SK Nomor 1305/445/RSUD/SK/IX/2018 tanggal 9 September 2018 untuk menindak lanjuti temuan tersebut.
Bahkan dalam tindak lanjut itu pihak RSUD menemukan 483 unit aset senilai Rp29 miliar lebih. Namun, pemeriksaan fisik BPK pada april 2019, aset yang ditemukan itu, oleh BPK tidak diyakini keberadaanya.
Menurut catatan BPK, Inventaris atas aset yang tidak ditemukan itu, dilakukan hanya dengan memberikan kode barang, nomor register dan tahun perolehan atas aset sesuai dengan nama-nama barang yang ada pada lampiran LHP BPK Nomor: 44.B/LHP/XIX.MKS/05/2018.
Selain itu, kelemahan lain atas prosedur inventarisasi tersebut, dalam catatan BPK disebutkan pengurus barang tidak melakukan penelusuran dan verifikasi atas dokumen sumber untuk mengetahui nilai perolehan barang yang tidak ditemukan tahun lalu.
Hal ini, BPK mencatat hasil inventarisasi terhadap aset yang ditemukan, tidak dapat diyakini atau diduga fiktif.
Terkait klaim Nilal, yang bilang aset tersebut merupakan total akumulasi aset yang lalu adalah benar. Namun dalam dokumen LHP-BPK, aset yang kebanyakan tidak ditemukan keberadaanya berasal dari pengadaan tahun anggaran 2015, 2016 dan 2017. (ali amin)