Oleh: Ostaf al Mustafa
Mantan Aktivis Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
TITIK nol sudah ditetapkan pada suatu tempat yang akan menjadi ibu kota dari suatu negara yang takbisa dipastikan lagi akan tetap sebagai Indonesia. Tidak ada kepastian, Indonesia akan tetap ada dalam simbolisme kendi yang rapuh, menampung air dari seluruh wilayah berbasis gubernuran. Tradisi klenik, takhyul, perdukunan dan halusinasi menyatukan tanah dan air, harusnya sudah selesai. Dukungan dari kalangan praktisi perdukunan, bukan lagi tempatnya sekarang.
Dulu, Indonesia merupakan nama gabungan yang berasal dari Bahasa Yunani yakni kata ‘Indo’ (India) dan ‘Nesos’ (Kepulauan) atau ‘pulau-pulau Hindia’. Warisan penamaan yang ditengarai berasal dari administrator Inggris George Earl pada 1850 dan antropolog Jerman Adolf Bastian pada 1884 (Victor R. Savage, et al, “The Human Geography of Southeast Asia: An Analysis of Post-War Developments”, Singapore Journal of Tropical Geography, Vol. 14, No. 2, 1993: 231). Indonesia, itu riwayatmu dahulu, yang tidak bisa lagi mengalirkan kenangan sampai jauh.
Kini, Rezim Kendi Nusantara telah menyurutkan makna sehingga kerapuhan bangsa tertafsirkan pada puluhan wadah air yang mudah terpecah belah. Sebutan Nusantara, kemudian pula dipakai sebagai politik pecah belah soliditas mahasiswa yang dilakukan Wiranto dengan mengumpulkan para pengkhianat-pengkhianat gerakan yang disatukan dalam satu kolam, sebagai BEM Nusantara. Namun penggebosan aksi 11 April 2022 gagal serapuh kendi. Sebelumnya tindakan serupa dilakukan Kelompok Cipayung Minus, dengan rasa haus kuasa yang besar, kemudian kompak juga menuju genangan yang sama. Mereka berani bermain basah, karena kendi dan kolam disediakan sebagai arena bermain.
Bila warisan nama dari abad XIX tak ada lagi, maka mungkin sebutan terbaik adalah Republik Indorich. Apalagi hanya tersisa 8 tahun hingga Republik Indonesia tidak ada lagi dalam jargon harga mati. Kematian Indonesia, dinarasikan pada novel juga tervisualkan pada sebuah film. Meski keduanya bukan patokan kebenaran, tapi sebuah fiksi yang berhasil, bisa saja berasal dari endapan puluhan fakta.
Pada novel yang ditulis oleh seorang doktor lulusan Harvard University dan sekaligus Top 100 Global Thinkers, terbaca bahwa Indonesia hanya sebuah nama dari masa lampau. Sekitar 6 tahun setelah ibu kota negara—yang menggunakan nama tengah mantan pemimpin PKI, D.N Aidit—resmi dipindahkan, maka tak ada lagi Indonesia atau NKRI pada 2030. Sebelumnya pada 2024, diperkirakan pusat pemerintahan sudah menjauhi episentrum Jakarta.
Demikianlah kemudian disebut hanya sebagai ‘bekas negara Republik Indonesia‘ sebanyak empat kali atau sekali sebagai ‘negara yang dulu bernama Indonesia’. Sebutan-sebutan itu terbaca dalam novel yang berkisah tentang dunia di ambang Perang Dunia Ketiga (Peter Warren Singer dan Augustus Cole, Ghost Fleet: A Novel of the Next World War, Mizan, 2018: 26, 34, 49, dan 91). Singer juga menyebutkan tentang Afrika yang sudah dikuasai China.
Sambil menanti Indonesia hilang, kita masuk dulu ke fiksi multiverse membahas tentang Negara Komunal Republik Indorich (NKRI). Suatu nama yang menyatakan betapa negeri itu kaya atau juga merupakan gabungan dari Indo Republik China. Penyebutan komunal, bukan merupakan tidak berkaitan dengan komune atau milik rakyat, tapi akronim dari Komunis Internasionale (komintern).
Comintern, atau Communist International, juga dikenal sebagai Internasionale Ketiga, karena dalam banyak hal ia merupakan buah dari persemaian langsung Internasionale Pertama dan Kedua (Kevin McDermott dan Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin, Macmillan Press Ltd, ISBN: 978-1-349-25024-0, 1966: xviii). Istilah Internasionale, kemudian menjadi judul kidung agung yang ditulis Eugène Edine Pottier (1816–1887). Bila di hari-hari kini, semakin banyak yang melakukan penghujatan terhadap agama Islam, Allah, dan Firman-Nya, maka sesuailah dengan salah satu bait dari lagu itu yakni, ”Tidak ada penyelamat tertinggi, baik Tuhan maupun kaisar atau wakil penguasa yang duduk di tribun kehormatan.” Jenderal hingga yang berpangkat AKBP secara terbuka melakukan tindak Islamifobia, inilah bentuk nyata kuasa Neo Oligarki Komintern.
Bahkan di luar dari tupoksinya sebagai Panglima, diperbolehkan anak keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut seleksi tentara. Bila tindakannya benar, mengapa spanduk berkaitan dengan keputusannya itu justru diturunkan sendiri oleh kalangan serdadu? Jika ia hanya mengetes air permukaan, untuk melihat seberapa riak yang terjadi, maka sebenarnya seluruh penghuni kolam mendukungnya. Gerombolan berudu hingga yang sudah bermetamorfosa sempurna tanpa ekor lagi, tak pernah mengeluarkan pernyataan pengingkaran dan penolakan.
Indorich ini juga mengingatkan pada karakter film kartun Richie Rich, seorang anak superkaya yang bisa memiliki segala-galanya (Hanna-Barbera Productions dan ABC, Richie Rich, 1980-1984). Hanya saja, Richie tidak sepenuhnya sebagai bocah yang crazy rich bocil, karena ia tidak memiliki mobil dengan moda siluman ala X3MKA-4070W1 dan belum pernah memperlihatkan uang di kantong dengan angka nol yang berderet sebanyak 15 biji. Tidak melalui hoaks Big Data, berita, ucapan, apalagi halusinasi. Richie bukan juga anak sultan, yang memamerkan martabak dan es doger, sebagai sumber pencucian uang dan korupsi superbesar.
Setelah titik nol dan bilangan tiga periode, memang Indonesia sudah tak ada lagi, sebagaimana yang terlihat pada hasil produksi China Film Group Corporation, The Wandering Earth (2019). Dalam sinema tersebut, Sulawesi disitir sebanyak lima kali, Indonesia dan Jakarta hanya sekali. Namun tidak sebagai negara dan ibu kota negara, melainkan hanya bagian dari teritori China.
Sebagaimana pernyataan Singer di bagian awal novelnya, “Kisah ini terinspirasi dari tren dan teknologi dunia nyata. Namun pada akhimya, ini hanyalah fiksi, bukan prediksi”. Demikian pula The Wandering Earth, kemungkinan dapat menjadi orakel bahwa Jakarta dan Sulawesi, menjadi lokasi tambahan pembubaran Indonesia. Semua itu dimulai sejak dari titik nol, tempat sang proksi berkehendak memasang tenda di atas tanah harapan yang diimpikan oleh Dipa ‘Nusantara’ Alfa…tango.